Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Tchikan" di Jepang, Pelecehan Seksual di Atas Kereta

14 Juni 2021   06:16 Diperbarui: 14 Juni 2021   06:48 5180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Chikan di Jepang, Kasus Pelecehan Seksual di Atas Kereta (nextshark.com)

Kasus pelecehan seksual pada moda transportasi umum cukup sering terjadi di Jakarta. Terutama pada jenis kendaraan KRL atau bis Trans Jakarta.

Pelaku pada umumnya memanfaatkan kepadatan penumpang dan juga kelengahan korban untuk melakukan aksi kotornya.

Di Jepang, aksi pelecehan seksual ini bahkan punya istilah. Namanya Tchikan (Chikan) yang berarti perlakuan (atau pelaku) pelecehan seksual di atas kereta.

Pada tahun 2017, Kepolisian Tokyo mencatat 2.620 kasus tchikan telah terjadi. Ironinya, hanya 10% wanita Jepang yang berani melaporkan.

Kisah Kumi Sasaki, Korban Chikan selama 6 Tahun

Kumi Sasaki adalah salah satu penyintas. Saat ini ia telah berusia 30 tahun dan menetap di Paris, Prancis.

Ia menulis sebuah buku yang berjudul "Tchikan," yang dirilis pada tahun 2017.  Buku tersebut mengisahkan tentang pengalaman pribadinya menjadi korban pelecehan seksual selama 6 tahun.

Kejadiannya berlangsung sejak ia berusia 12 hingga 18 tahun. Tepatnya pada saat duduk di bangku SMP hingga SMA.

Sasaki menjadi populer. Tidak saja di Prancis, tapi juga di Jepang. Isi bukunya mewakili mayoritas korban pelecehan seksual di negaranya.

Sasaki menjelaskan pengalaman pertamanya dilecehkan. Ketika itu ia masih berusia 12 tahun di atas kereta di Tokyo.

Ada tangan yang menyentuh tubuhnya. Awalnya ia mengira itu karena guncangan kereta.

Namun, ternyata sentuhan itu tidak berhenti. Bahkan jari-jari tersebut masuk ke dalam kerah blusnya. Akhirnya semakin berani dengan menyingkap rok dan menjelajahi tubuh bagian bawahnya.

Kejadian pertama bukan yang terakhir. Saat itu Sasaki masih sangat muda. Namun, peristiwa itu menimbulkan trauma yang berkepanjangan.

Pelecehan demi pelecehan ia alami. Pelakunya juga beragam. Mulai dari remaja hingga bandot berusia 70an.

Bahkan Sasaki pernah "pernah" dilamar oleh seorang pria berusia 50 tahun. Sang pria asing itu menguntit Sasaki hingga ke rumahnya. Ia mengatakan ingin memiliki anak dari Sasaki.

Sasaki berkata ia ingin menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa efek tchikan lebih berbahaya dari apa yang disangka. Sasaki juga ingin mengubah pandangan masyarakat Jepang yang kerap menganggap kasus tchikan sebagai masalah kecil. 

Usaha Pemerintah Jepang

Sebenarnya pemerintah Jepang tidak duduk diam. Sejak tahun 2005, di Jepang sudah ada gerbong khusus wanita.

Namun, kasus tchikan masih saja kerap terjadi. Untuk itu semakin banyak himbauan yang tertempel di tempat-tempat umum.

Para wanita didorong untuk lebih berani melaporkan tindak pelecehan terhadap mereka. Sejak tahun 2016, kepolisian Jepang telah meluncurkan aplikasi Digi Police.

Aplikasi ini memudahkan para korban dengan polisi dan pengguna lain. Jika ditekan, polisi akan segera datang menangkap pelaku. Pengguna lainnya juga bisa berwaspada.

Ada juga aplikasi radar tchikan yang diproduksi oleh perusahaan swasta. Penggunanya dapat melihat lokasi-lokasi rawan tchikan, dan juga petanda jika ada yang beraksi.

Juga ada stempel kasat mata. Bisa ditempel oleh korban tanpa diketahui oleh pelaku. Polisi memiliki alat khusus, semacam sinar infra merah. Pelaku yang sudah terdeteksi memiliki stempel akan ditangkap.

Hukuman bagi Para Tchikan

Sejak Tahun 2011, pemerintah Jepang juga sudah memberlakukan aturan bagi kamera ponsel. Adalah tindakan melawan hukum jika suara jepretan pada ponsel di senyapkan. Tersebab kasus pelecehan seksual tidak saja meraba, tapi juga memotret.

Denda besar dan hukuman penjara juga diberlakukan. Denda setara 60 juta rupiah plus hukuman penjara sampai 10 tahun menanti para pelaku.

Sulit Diberantas

Kendati demikian, perilaku tchikan di Jepang masih sulit diberantas. Orang Jepang sendiri tidak menganggap seks sebagai hal yang tabu.

Dalam Shintoisme (agama tradisi Jepang), seks adalah semacam panggilan alam. Sepanjang tidak menyakiti sesamanya (secara fisik), bukanlah dosa.

Tidak heran jika film porno di negara ini dianggap lumrah dan legal. Pasarnya cukup besar dan tersebar luas. Artis porno bisa mendapatkan kemahsyuran tanpa harus merasa malu.

Sayangnya, tema tchikan dalam film porno menjadi salah satu yang paling banyak diproduksi. Kabar buruknya adalah banyak penggemar film porno Jepang yang menyukainya.

Aksi Para Tchikan

Para tchikan tidak pernah kehilangan akal. Bukan hanya di atas kereta, kini mereka tersebar luas.

Seperti yang dilakukan oleh seorang lelaki di Kobe. Di saat jalanan sedang ramai-ramainya sang pria melakukan aksinya.

Caranya adalah dengan mendekam di sebuah selokan kering untuk menunggu mangsanya. Selama 5 jam dalam sehari ia merekam pakaian dalam wanita yang sedang berlalu lalang.

Akhirnya ia ditangkap ketika seorang lelaki melihat rambutnya menyembul dari dalam selokan.

Ada pula seorang chikan yang berpura-pura menjadi orang buta. Ia masuk ke dalam mal dan mencari mangsa wanita. Sang wanita biasanya dipancing untuk mengantarnya ke kamar mandi.

Begitu masuk ke kamar mandi, sang pria langsung melakukan aksi begal payudara dan melarikan diri. Pria berusia 33 tahun itu kemudian ditangkap ketika beberapa laporan yang sama masuk ke polisi.

Ada juga pria yang selalu menyamar menjadi perempuan. Ia masuk ke dalam toilet wanita dan merekam korbannya yang sedang buang air kecil.

Ketika ditangkap, ternyata lelaki itu berprofesi sebagai guru SMA honorer.

Dua Sisi Mata pedang

Ketika kasus tchikan merebak, publik Jepang terhenyak melihat keseriusan pemerintah Jepang dalam menanganinya. Apa yang dulu dianggap biasa kini menjadi luar biasa.

Para wanita yang dulunya diam ketika menjadi korban, sekarang sudah mulai bersuara. Para wanita yang belum pernah menjadi korban semakin awas dan waspada.

Sayangnya eufhoria ini menjadi kebablasan. Akhirnya banyak lelaki yang tidak bermaksud jahat pun dirugikan. Mereka dituduh sebagai tchikan, hanya karena gerak geriknya terlihat mencurigakan.

Sebuah perusahaan asuransi pun memanfaatkan kondisi ini. Diluncurkanlah asuransi anti tuduhan tchikan. Para pria bisa membelinya seharga 6.400 yen (sekitar 850 ribu rupiah). Jika ada tuduhan palsu yang dilayangkan padanya, maka perusahaan asuransi akan membayar kerugian sang pemilik polis.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun