Usia mereka terpaut jauh, tapi berasal dari kampung yang sama. Bersama Evie, Henk memiliki empat buah hati.
Khwatir dengan keputusan sang presiden, Soemarno mengusulkan agar Henk bisa ditemani oleh seseorang yang handal dalam bidang birokrasi.
Wakil Gubernur pun diangkat. Bukan hanya satu, tapi dua orang sekaligus. Dr. Soewondo dan Satoto Hapoedjo.
Hari bersejarah itu jatuh pada tanggal 22 Oktober 1964. Henk Ngantung menjadi Gubernur DKO Jakarta. Namun, ia tidak berada lama di jabatan itu. Periodenya hanya beberapa bulan saja.
Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Dr. Soemarno dikembalikan lagi. Sementara Henk diberhentikan dengan alasan yang tidak jelas pada bulan Juli 1965.
Ia dianggap sebagai sayap kiri. Atas pertimbangan konflik politik, ia pun harus tersingkir.
Dalam sejarah, Henk adalah gubernur yang paling apes. Di zaman Soeharto, seluruh musuh politik, tak akan diberikan kebebasan pergerakan. Henk masih beruntung, ia tidak mendekam dalam bui.
Namun, kehidupannya hancur dalam sekejap. Uang pensiun yang seharusnya menjadi miliknya, diberikan 15 tahun setelah ia berhenti menjabat. Henk terpaksa harus melego rumahnya di kawasan Tanah Abang.
Ia pun membeli rumah sederhana di jalan Dewi Sartika. Selanjutnya adalah hari-hari yang kelam bagi Henk dan keluarganya. Ia hidup dari berjualan lukisan yang tidak seberapa.
Henk tutup usia di tahun 1991. Meninggalkan kenangan dalam kesunyian. Tidak ada hiruk pikuk acara, apalagi upacara.