Sewaktu kecil, aku sudah tahu tentang Beethoven. Aku tahu kalau dia adalah seorang musisi yang tuli. Di saat itu, hanya satu dalam pikiranku. Ia memiliki tenaga supranatural.
Tersebab ibunda tercinta sendiri tidak bisa menjawab, mengapa seorang tuna rungu seperti Beethoven piawai menciptakan musik, dan memainkannya pula.
Sesaat hingga tulisan ini kubuat, aku belum menemukan jawabannya. Hingga pada saat artikel ini aku anggit, barulah aku menyadari, betapa hebatnya tubuh manusia.
Mari kita mulai dari perspektif. Apa tujuan manusia pada umumnya mendengarkan musik? Sebagai hiburan tentu mengisi daftar teratas. Selanjutnya, bolehlah ditambah dengan alasan lain-lain, seperti mencari ketenangan hingga mungkin, proses penyembuhan.
Namun, seberapa banyak yang menganggap mendengarkan musik adalah seni? Pikiran sederhana; mereka yang pandai bermain musik tentunya yang masuk dalam golongan ini.
Ternyata salah, tersebab tuna rungu juga memiliki perspektif yang sama. Bagi mereka, musik adalah seni. Musik adalah alunan irama yang dinikmati tidak melalui telinga.
Telinga memang indra pendengar. Dalam kasus orang normal, adalah auditory cortex (korteks pendengaran), bagian di otak yang memproses suara (termasuk musik). Jadi, gendang telinga hanyalah saraf pengantar saja.
Orang tuli tidak memiliki kemampuan menangkap suara melalui saraf telinga. Oleh sebab itu korteks pendengaran tidak menerima signal apa pun dari telinga.
Tapi musik itu bergetar. Tuna rungu bisa merasakan vibrasi-vibrasi irama. Menariknya, bagaimana pun juga signal suara tetap akan sampai ke otak para tuna rungu.
Bisa lewat tangan, tulang belulang, ataupun bagian tubuh lainnya. Bagaimana pun caranya layaknya orang yang sedang mendengarkan.
Bahkan Anissa Rahmanisa dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mengakui bahwa orang tuli bisa merasakan musik melalui dentuman di lantai (liputan6, 09.03.2018)
Namun, karena saraf penerima bukanlah saraf pendengaran khusus, maka signal yang diterima oleh auditory cortex menjadi kurang lengkap.
Tapi, poinnya bukan di sini. Mendengarkan musik bisa melalui cara apa saja, bahkan jika signal yang diterima juga tidak berbentuk sama dengan pendengaran orang normal.
Orang yang pertama kali menemukan fakta bahwa tuna rungu juga bisa menangkap suara musik adalah Dr. Dean Shibata.
Terkait fakta ini, ia menyarankan agar orangtua anak tuna rungu disarankan untuk memperkenalkan musik kepada anaknya, agar auditory cortexnya dapat dirangsang sedini mungkin.Â
**
Dalam keadaan normal, otak sudah memiliki fungsinya masing-masing. Tapi, otak manusia sangat adaptif. Dalam keadaan tertentu, akan terjadi perubahan strategi.
Mata Anda berfungsi normal. Cobalah mengambil selembar kain dan tutupi matamu. Konsentrasilah terhadap kondisi di sekelilingmu.
Lucunya, ketika mata Anda tidak berfungsi, otak Anda akan mengirimkan signal visual dari tempat di mana kamu berada. Setelah itu, telinga Anda akan menjadi lebih tajam dan memperhatikan setiap bunyi yang menandai apa yang terjadi di sekitarmu.
Nah, tuna rungu pun demikian. Indra pendengaran yang tidak berfungsi akan mempertajam fungsi saraf lainnya untuk menerima signal suara. Otak pun akan mengenali vibrasi yang disebut ritme atau irama.
Orang normal dan orang tuli merasakan musik dengan caranya masing-masing. Ini membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal. Tidak saja lintas generasi, tapi juga melalui lintas kemampuan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H