Industri rokok di era Soeharto berkembang pesat. Produksi dalam negeri pun tidak mampu menunjangnya. Puncaknya sekitar 1980an. Petani cengkeh mendapatkan berkah, harga 1 kilo cengkeh setara dengan satu 2 gram emas.
Namun, kejayaan tersebut tidak bertahan lama. Tommy Soeharto yang saat itu telah berusia 28 tahun, memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk turut serta dalam bisnis menggiurkan ini.
Dibentuklah Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung oleh Tommy melalui Keppres tahun 1992. Tommy pun tidak perlu mengeluarkan modal. Ia mendapatkan bantuan dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar 569 miliar rupiah, dan 190 miliar lagi dari Bank Bumi Daya.
BPPC memonopoli urusan perdagangan cengkeh. Menjadi satu-satunya lembaga yang punya kuasa untuk membeli cengkeh dari para petani. Di masa itu, harga termurah cengkeh adalah 20 ribu rupiah per kilogram. Tapi, BPPC hanya menilai 2 ribu rupiah saja dari petani.
Pabrik rokok dan pembeli cengkeh lainnya juga tidak bisa bergerak. BPPC menjadi satu-satunya tempat pembelian cengkeh dengan harga yang sudah ditentukan. Setinggi-tingginya.
Alasannya karena BPPC dinilai memiliki misi "mulia." Keuntungan tersebut seharusnya didistribusikan kepada para petani dan pekerja. Tapi, tidak pernah terjadi.
Cengkeh yang tadinya emas, berubah menjadi tumpukan sampah. Banyak petani yang marah, hingga membakar hasil panen bahkan ladang mereka.
Para petani cengkeh memberi julukan kepada BPPC sebagai "VOC era baru." Sejak saat itu, cengkeh tidak lagi pernah mencapai harga terbaiknya.
Setelah orde baru berakhir, BPPCÂ pun bubar. Tommy pernah didakwa merugikan negara 175 miliar rupiah. Tapi, semuanya hilang bak ditelan bumi.
Kasus Mobil Nasional, Timor
Mobil Nasional Timor, diluncurkan pada 8 Juli 1996 silam. Tommy kelihatan sangat bahagia, meskipun ibu Tien Soeharto baru saja berpulang.