Masalah lintas generasi bagi orang Tionghoa adalah tradisi yang masih dipertahankan. Pikiran milenial sangat sulit menerima adat dan tata cara yang telah diwariskan turun temurun.
Apa yang dulunya dianggap sakral, kini terasa takhayul. Perkembangan teknologi telah membentuk pikiran kritis. Anak kecil tidak bisa lagi ditakut-takuti dengan cerita mitos yang hanya "konon" terdengar.
Kendati demikian, masih banyak aturan tradisi orang Tionghoa yang beredar di masyarakat. Tidak ada penjelasan yang berarti, pokoknya harus dijalankan.
Di sinilah sumber masalahnya. Akibatnya sering terjadi pertengkaran yang tidak perlu atas perbedaan pendapat ini.
Saya termasuk yang dulunya kritis terhadap hal yang dianggap takhayul. Jika ibu mulai mengomel, otak logikaku langsung membantahnya. Akibatnya aku pernah menjadi anak yang pembangkang.
Tapi, di saat anak-anak sudah beranjak dewasa, justru kebalikan aku yang kadang memarahi mereka.
Hal sepele seperti menggoyang-goyang kaki saat makan. Alasannya karena menghilangkan hoki. Padahal saya sendiri tahu, tidak ada korelasi antara hoki dan kaki bergoyang.
Lantas mengapa tradisi yang dianggap tidak relevan lagi masih dipertahankan?
Salah satu konsep Pendidikan keluarga yang diwariskan oleh orang tionghoa adalah "Hauw" atau Bakti. Hauw adalah konsep konfusianisme yang diterjemahkan sebagai kewajiban mutlak bagi seorang anak untuk berbakti kepada orangtua.
Konfusius meyakini dengan mempertahankan tradisi Hauw, maka moral akan tumbuh dalam keluarga. Selanjutnya akan tumbuh menjadi tata krama yang mempengaruhi kehidupan sosial yang lebih luas.
Berbeda dengan masyarakat barat yang menganggap anak adalah individu bebas, masyarakat Tionghoa sendiri menganggap anak adalah cerminan reputasi bagi orangtuanya.
Itulah mengapa tradisi yang masih ada dianggap sebagai warisan yang harus dipertahankan. Dianggap sebagai bagian dari pesan orangtua kepada anak yang harus dijaga.
Mempertahankan Budaya
Setiap suku bangsa memiliki tradisinya masing-masing. Upacara besar seperti pernikahan atau kelahiran anak masih mengikuti adat-istiadat yang berlangsung ratusan tahun lamanya.
Meskipun ada beberapa yang sudah tidak relevan lagi, tapi tetap saja dijalankan. Begitu pula dengan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu dipahami secara kritis. Cukup dijalankan saja, sudah mewakili siapa diri Anda sebenarnya.
Takut Kualat
"Dilarang cuci rambut di hari pertama imlek." Pesan yang sudah mandarah daging. Katanya sih, hoki bisa hilang. Jika pesan ini sudah berlaku umum, masih adakah yang ingin coba-coba?
Meskipun hoki tidak ada hubungannya dengan cuci rambut, tapi sugesti yang ditanamkan sudah terlalu kuat. Lagipula, tidak ada salahnya untuk diikuti. Rambut gatal sehari pantas dicoba daripada hoki setahun akan hilang terbilas.
Mengingat Kampung Halaman
Adik saya sudah menetap di Amerika Serikat selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Memang tidak semua adat-istiadat ditelannya bulat-bulat. Tapi, beberapa hal yang dianggapnya penting masih dipertahankan.
Menurutnya, hal tersebut mengingatkannya pada kampung halaman tempat ia tumbuh besar. Juga untuk mengajarkan anaknnya agar tidak "kagok" jika mengunjungi kota Makassar melihat kebiasaan kakek neneknya.
Memegang Kendali
Yan Zhang, seorang professor dari National University of Singapore mengatakan bahwa tradisi tidak akan mudah lenyap dari masyarakat Tionghoa.
Di negara modern seperti Singapura, Hong Kong, atau Taiwan saja, penduduknya masih percaya kepada takhayul. Menurutnya, selain kondisi yang kompetitif, masyarakat juga ingin merasa nyaman.
"Percaya kepada takhayul membuat orang merasa memiliki kendali, yang membuat mereka tidak terlalu cemas atau gugup,"Â kata Zhang.
Sadar bahwa orang tidak bisa memiliki kendali penuh atas hidup mereka, kepercayaan pada takhayul akan bertahan selama yang bisa dibayangkan.
Konsep Hoki pada Orang Tionghoa
Dalam artikel sebelumnya di Kompasiana, saya telah membahas mengenai konsep Hoki orang Tionghoa.
Baca juga: Bagaimana Orang Tionghoa Mengejar Hoki
Stevan Harrell, Professor Antropologi dari Universitas Washington menjelaskan bahwa hasrat orang Tionghoa terhadap hoki sudah berasal dari masa lalu.
Orang barat (atau bangsa lain) melihat keberuntungan adalah sesuatu yang acak. Namun tidak bagi orang Tionghoa. Mereka memandang Hoki adalah sesuatu yang tidak kebetulan.
"Tidak ada konsep bahwa sesuatu muncul secara acak. Ada keyakinan pada keteraturan, semacam alasan di balik segala sesuatu," kata Harrel.
Hoki harus dikejar. Demikian yang ada dalam pikiran. Melakukan hal kecil yang terkesan lucu dan konyol tidak ada salahnya. Sama seperti membeli lotto tanpa mengeluarkan biaya. Siapa tahu saja, undian pertama jatuh ke tangan.
**
Sebagai orangtua maupun generasi lanjutan, cara yang terbaik untuk menyikapinya adalah dengan tidak nyinyir atau pun terlalu dipaksakan sehingga merugikan.Â
Bertengkar untuk hal sepele sehingga mengorbankan keharmonisan rasanya tidak pantas. Sikapilah dengan bijaksana dan memahami makna filosofis dari setiap aturan tradisi.
Tradisi boleh dipertahankan dengan tujuan agar seluruh keluarga bisa hidup rukun dan damai.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H