Gerakan ini sangat masif. Di suatu sisi sebenarnya Soeharto memiliki alasannya tersendiri. Penggantian nama diharapkan sebagai bukti nasionalisme warga Tionghoa.
Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 240 Tahun 1967 Tentang Kebidjaksanaan Pokok Jang Menyangkut Warga Keturunan Asing, warga negara keturunan diimbau untuk mengganti nama mereka.
Di sisi lain, penggantian nama ini terjadi dengan begitu cepat, akibat adanya "ancaman" yang seolah-olah timbul untuk mencegah tindak kekerasan dari sikap rasialis warga pribumi.
Rumor menyebar dengan cepat, meskipun kekhwatiran terlalu berlebihan. Hal ini disampaikan oleh Albertus Budi Susanto, seorang antropolog dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Menurutnya, suku lain di Indonesia sebenarnya tak menolak kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Tapi, menuntut mereka untuk bisa berbaur dengan baik.
"Orang-orang Tionghoa harus instropeksi, artinya merenungkan sikap mereka sendiri yang tidak bertoleransi," ujar Direktur Lembaga Studi Realino ini.
Walau demikian, fenomena ini bagaikan telur atau ayam. Banyak juga orang-orang Tionghoa yang menerima perlakuan diskriminasi. Khsususnya dari tindakan aparat pemerintah di era orde baru. Semuanya dilakukan secara sitematis melalui penetapan undang-undang atau pun peraturan pemerintah.
Bukan ingin mencari perbedaan. Diskriminasi memang terjadi, tapi itu adalah bagian dari sejarah. Tidak ada orang Tionghoa di negara lain yang menggantikan nama demi nasionalisme. Hanya di Indonesia.
Jika hari ini masih ada yang mengangkat isu ini, maka sebenarnya diskriminasi memang dibuat-buat. Mencari masalah dari otak yang bermasalah.
**
Anak-anak kuberikan nama Tionghoa setelah mereka berusia satu bulan. Sedangkan "nama nasional" mereka telah ada berbulan-bulan sebelum mereka lahir.