Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Ganti Nama Orang Tionghoa Indonesia di Era Soeharto

13 April 2021   05:27 Diperbarui: 13 April 2021   05:31 4628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Ganti Nama Orang Tionghoa Indonesia di era Soeharto (sumber: lensaindonesia.com)

Bukan rahasia lagi jika di zaman Soeharto seluruh warga Tionghoa harus mendeklarasikan "nama nasional" dalam proses pengajuan kewarganegaraan.

Ada yang mengatakan bahwa itu adalah asimilasi paksa untuk menghilangkan identitas. Tapi, ada juga yang melakukannya karena keinginan sendiri.

Namun, itu adalah bagian dari masa lalu. Bagi saya sendiri, proses penggantian nama tersebut adalah berkah. "Nama Indonesia" bagi warga keturunan Tionghoa justru menjadi identitas yang membedakannya dari para keturunan Tionghoa di negara lain.

**

M. Saleh adalah nama dari ayah seorang sahabat. Nama aslinya jelas 3 huruf.

Pada saat keluarganya sedang sibuk-sibuk mencari nama, si Saleh berkeinginan mencari nama yang mirip dengan nama "Indonesia tulen." Dipilihlah "M" di depan kata Saleh.

Konon Saleh memiliki pelafalan yang sama dengan nama Tionghoanya. Sebutkanlah (misalkan) Shia-lai.

Namun ketiga petugas catatan sipil yang menangani formulirnya bertanya; "Apa kepanjangan dari nama 'M'?"

Si Saleh menjawab; "'M' saja."

Ini adalah salah satu contoh bagaimana perubahan nama Tionghoa menjadi sebuah fenomena selama tahun 1960 hingga 1980an.

**

Masyarakat Tionghoa jamak mengikuti aturan leluhur tentang penamaan. Aturan yang diikuti memiliki arti baik dan juga merupakan doa.

Yang pasti nama marga adalah hal yang tidak boleh diganti. Melambangkan asal muasal leluhur.

Nama tengah biasanya merupakan nama silsilah. Umumnya ada 8 hingga 12 tahapan. Jadi kalau sudah sampai ke generasi ke-8 atau 12, maka nama tengah kembali digunakan.

Sebagai contoh, nama tengah saya adalah "ie." Seluruh saudara dan sepupu satu kali juga menggunakan nama tengah yang sama. Begitu pula dengan nama "tjia" yang digunakan sebagai nama silsilah bagi ayah, saudara-saudaranya dan para sepupunya.

Nama depan lebih fleksibel. Mengartikan sesuatu yang bersifat pribadi dan juga harapan orangtua.

**

Namun, seiring waktu berjalan, nama Tionghoa semakin tidak beraturan. Yang paling menyolok perbedaannya adalah nama tengah. Silsilah sudah carut marut. Terlalu jauh dari tanah leluhur. Sekarang tidak pernah lagi digunakan.

Begitu pula dengan aksara yang dipilih. Ternyata ada eranya. Saya pernah mendengarkan komentar seorang sahabat dari Taiwan. Ia mengatakan bahwa nama Tionghoa-ku terkesan sangat jadul. Marak digunakan oleh orang-orang seusia bapaknya. Padahal aku dan dia seumur. Nah lho.

Kesimpulannya, meskipun warga Tionghoa Indonesia masih menggunakan nama Tionghoa, tidak ada lagi aturan tradisi yang berlaku. Hanya sekedar nama saja.

**

Kembali kepada adaptasi nama Tionghoa ke nama Indonesia di masa silam.

Bagaimana pun juga warga Tionghoa pasti mencari korelasi antara nama Tionghoa warisan leluhur dengan nama yang dinasionalkan.

Mari mulai dari nama marga. Ada sekitar 300 marga yang tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia ada beberapa nama marga yang cukup populer. Di antaranya adalah Liem, Thio (Tjang), dan Oei (Huang).

Nama belakang yang dinasionalkan menganut kepada pelafalan dasar, seperti;

Liem biasanya menjadi Salim, Halim, atau Liman.

Thio (Tjang) biasanya menggunakan Chandra, Thohir, dan lain-lain.

Saya sendiri bermarga Go (Wu). Nama Gunawan pun tersemat. Sementara sepupu lainnya menggunakan nama Gozal atau Gunadi.

Nama tengah dan depan biasanya digabungkan. Caranya adalah dengan menggunakan teknik yang sama, pelafalan, seperti dalam kasus Saleh (Shia-lai) di atas.

Ada juga yang menggunakan nama sesuai dengan agama yang diyakini. Misalkan nama Ali atau Nur bagi muslim, atau nama-nama kekristenan, dan juga nama sansekerta bagi Buddhis.

Sebagian lagi memilih nama-nama budaya. Seperti nama Jawa, atau nama lokal di tempat mereka berdomisili.

Bagi yang "tidak berafiliasi" biasanya memilih nama barat (kolonial) atau nama yang lebih umum sesuai dengan tokoh nasional yang dikagumi. 

**

Berikut penulis akan memberikan contoh beberapa nama dari orang-orang keturunan Tionghoa terkenal. Anda bisa membaca dan memahami mengapa mereka memilih nama tersebut bagi dirinya.

P.K. Oejoeng, bernama Tionghoa Auwjong Peng Koen. "P.K" sendiri adalah singkatan dari Peng Koen dan dalam nama nasionalnya adalah Petrus Kanisius. Kekristenan terlihat sangat jelas, sesuai dengan agama yang dianut oleh pendiri grup Kompas Gramedia ini.

Soedono Salim, bernama asli Liem Soe Liong. Nama nasionalnya adalah Soedono Salim. Salim diadopsi dari marga Liem. Sementara Sudono kemungkinan berhubungan dengan kedekatannya dengan Soeharto. Nama Jawa mengartikan "Soe-dono" yang berarti "Dana (atau Modal) yang bagus."

Usman Admadjaja, pendiri Bank Danamon. Nama Tionghoanya adalah Djauw Jaw Wu. Rupanya Usman ini terpikat dengan tokoh "teroris pahlawan" yang pernah mengebom gedung MacDonald di Singapura tahun 1965, Usman Jannatin.

Adapun nama belakang Djaja dikaitkan dengan nama orang-orang Sunda, dan juga konotasi dari nama marga "Djauw" yang dimilikinya.

Walau demikian, ada juga yang tetap menggunakan nama 3 huruf, seperti Liem Swie King, Soe Hoek Gie, dan Kwik Kian Gie.

Beberapa lagi mengukuhkan nama nasional yang dipadukan dengan nama tionghoanya, seperti Abdul Karim Oei Tjeng Hien, dan Abdusomad Yap A Siong. Keduanya ini adalah pendiri dari PITI (Perhimpunan Islam Tionghoal Indonesia).

Intinya tidak ada yang baku. Semuanya sesuai selera. Namun, satu hal yang pasti. Nama Tionghoa biasanya tetap digunakan sebagai nama panggilan kecil atau keluarga, sebagaimana saya yang dipanggil dengan nama A-cong oleh orang-orang dekat.

**

Dalam penelitian "Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa (2013) oleh Suharyo, dituliskan bahwa penggantian nama dilakukan oleh orang Tionghoa zaman dulu karena ketakutan akan diskriminasi S.A.R.A. Sebuah kebiasaan yang menjadi warisan di zaman Orde Baru.

Semuanya bermula dari tahun 1965, dimana segala sesuatu yang berbau "Cina" dihubungkan dengan gerakan komunis. Apalagi hubungan diplomatik Indonesia-China sempat terputus pada era tersebut.

Gerakan ini sangat masif. Di suatu sisi sebenarnya Soeharto memiliki alasannya tersendiri. Penggantian nama diharapkan sebagai bukti nasionalisme warga Tionghoa.

Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 240 Tahun 1967 Tentang Kebidjaksanaan Pokok Jang Menyangkut Warga Keturunan Asing, warga negara keturunan diimbau untuk mengganti nama mereka.

Di sisi lain, penggantian nama ini terjadi dengan begitu cepat, akibat adanya "ancaman" yang seolah-olah timbul untuk mencegah tindak kekerasan dari sikap rasialis warga pribumi.

Rumor menyebar dengan cepat, meskipun kekhwatiran terlalu berlebihan. Hal ini disampaikan oleh Albertus Budi Susanto, seorang antropolog dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Menurutnya, suku lain di Indonesia sebenarnya tak menolak kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Tapi, menuntut mereka untuk bisa berbaur dengan baik.

"Orang-orang Tionghoa harus instropeksi, artinya merenungkan sikap mereka sendiri yang tidak bertoleransi," ujar Direktur Lembaga Studi Realino ini.

Walau demikian, fenomena ini bagaikan telur atau ayam. Banyak juga orang-orang Tionghoa yang menerima perlakuan diskriminasi. Khsususnya dari tindakan aparat pemerintah di era orde baru. Semuanya dilakukan secara sitematis melalui penetapan undang-undang atau pun peraturan pemerintah.

Bukan ingin mencari perbedaan. Diskriminasi memang terjadi, tapi itu adalah bagian dari sejarah. Tidak ada orang Tionghoa di negara lain yang menggantikan nama demi nasionalisme. Hanya di Indonesia.

Jika hari ini masih ada yang mengangkat isu ini, maka sebenarnya diskriminasi memang dibuat-buat. Mencari masalah dari otak yang bermasalah.

**

Anak-anak kuberikan nama Tionghoa setelah mereka berusia satu bulan. Sedangkan "nama nasional" mereka telah ada berbulan-bulan sebelum mereka lahir.

Kenapa? Karena memang nama nasional jauh lebih penting daripada nama Tionghoa. Namun, menurut saya nama Tionghoa juga penting sebagai identitas warisan budaya.

Ayah telah menyiapkan nama Tionghoa sebelum aku lahir. Kapan aku menggunakannya? Seingatku sudah lama sekali. Mungkin nanti akan kugunakan lagi di atas batu nisan, sebagaimana yang sudah berlaku sejak zaman leluhur.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun