Masyarakat Tionghoa jamak mengikuti aturan leluhur tentang penamaan. Aturan yang diikuti memiliki arti baik dan juga merupakan doa.
Yang pasti nama marga adalah hal yang tidak boleh diganti. Melambangkan asal muasal leluhur.
Nama tengah biasanya merupakan nama silsilah. Umumnya ada 8 hingga 12 tahapan. Jadi kalau sudah sampai ke generasi ke-8 atau 12, maka nama tengah kembali digunakan.
Sebagai contoh, nama tengah saya adalah "ie." Seluruh saudara dan sepupu satu kali juga menggunakan nama tengah yang sama. Begitu pula dengan nama "tjia" yang digunakan sebagai nama silsilah bagi ayah, saudara-saudaranya dan para sepupunya.
Nama depan lebih fleksibel. Mengartikan sesuatu yang bersifat pribadi dan juga harapan orangtua.
**
Namun, seiring waktu berjalan, nama Tionghoa semakin tidak beraturan. Yang paling menyolok perbedaannya adalah nama tengah. Silsilah sudah carut marut. Terlalu jauh dari tanah leluhur. Sekarang tidak pernah lagi digunakan.
Begitu pula dengan aksara yang dipilih. Ternyata ada eranya. Saya pernah mendengarkan komentar seorang sahabat dari Taiwan. Ia mengatakan bahwa nama Tionghoa-ku terkesan sangat jadul. Marak digunakan oleh orang-orang seusia bapaknya. Padahal aku dan dia seumur. Nah lho.
Kesimpulannya, meskipun warga Tionghoa Indonesia masih menggunakan nama Tionghoa, tidak ada lagi aturan tradisi yang berlaku. Hanya sekedar nama saja.
**
Kembali kepada adaptasi nama Tionghoa ke nama Indonesia di masa silam.