Menghormati tamu penting, tuan rumah menunggu di depan untuk menyambut mobil dinas berplat DD-3 yang akan datang mengunjungi. Tapi, suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Ternyata ia beserta istrinya datang dengan naik angkot (pete-pete).
"Ini hari Minggu dan bukan acara dinas. Haram hukumnya naik mobil kantor." Lopa berkata
Telepon Berkoin
Fasilitas negara juga menjadi korban dari konsistensi sikap Baharuddin Lopa. Alih-alih menggunakan telepon di rumah dinasnya, ia malah menguncinya. Tujuannya agar tidak sembarang dipakai.
Sebagai gantinya ia memasang telepon koin. Ini dilakukan agar kepentingan pribadi dan dinas tidak bercampur aduk.
"Siapa pun yang ingin menelepon harus membayar." Pesan Lopa.
Enggan Menerima Parsel
Salah satu yang paling diharamkan oleh Lopa adalah menerima parsel. Sayangnya di saat lebaran, ada saja yang datang berjubel.
Suatu waktu Lopa pulang ke rumah. Ia mendapati sebungkus parsel yang telah bolong. Ternyata putrinya tidak bisa menahan nafsu. Coklat manis pun dicolong.
Lopa menghela napas. Ia tak memarahi putrinya. Sebagai ganti, dibelilah coklat dengan merek dan ukuran yang sama. Parsel pun dikembalikan kepada pengirim.
Aisyah, putri Baharuddin Lopa sudah sering kali kena getah atas sikap keras Lopa. Suatu waktu ia menjadi panitia seminar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Kampusnya kekurangan kursi, ia bermaksud meminta bantuan ayahnya untuk meminjam kursi. Bukannya kata "boleh" yang diperolehnya.
"Kursi ini milik Kejati, bukan milik kampusmu." Demikan jawab ayahnya.
Menolak Bantuan Sahabat Karib
Suatu hari, Lopa hendak menunaikan ibadah haji. Seorang kawan sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi yang sukses sebagai pengusaha memberinya 10.000 dollar AS.