Namun, tradisi ini juga memiliki pesan moral yang baik. Terlepas dari apakah para leluhur bisa menikmati uang yang dibakar, aksi ini dianggap sebagai perlambang rasa bakti kepada mereka yang telah mendahului kita.
Ada tiga jenis uang arwah yang biasa digunakan dalam ritual pembakaran
Jenis kedua lazim disebut dengan uang perak, atau "yinzihi" atau "imcoa." Uang ini berbentuk lembar segi empat dengan cap berwarna perak. Dipersembahkan bagi arwah para leluhur dan dewa lokal (dewa bumi).
Ketiga adalah uang emas atau "Jinzhi" atau "kimcoa". Jenis uang ini diperuntukkan bagi dewa-dewi surgawi yang berada di langit.
Perspektif dalam Agama Buddha
Untuk itu, maka ada sebuah perspektif Buddhisme yang bisa menjadi penjelasan yang cukup bagus mengenai ritual ini.
Dalam agama Buddha, ada sebuah wujud kebaikan yang disebut dengan Pattidana (Pelimpahan Jasa). Wujud ini berupa penyaluran jasa kebajikan bagi mereka yang telah meninggal dunia. Bisa juga diartikan sebagai pemberian inspirasi kebajikan / kebahagiaan bagi makhluk lain.
Setelah melakukan perbuatan baik (dalam bentuk apa saja), maka seseorang (sanak keluarga) bisa menyatakan bahwa perbuatan baik tersebut dipersembahkan, atau dilakukan atas nama keluarga yang telah meninggal. Tujuannya agar para leluhur bisa turut berbahagia (mudita citta).
Konsepnya adalah jika para mendiang telah mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan oleh anak cucunya, maka mereka akan turut bangga dan berbahagia.
Perasaan bahagia adalah salah satu wujud dari perbuatan baik. Perbuatan baik itulah yang kemudian menjadi bekal bagi mereka untuk berkelana di alam baka atau terlahir kembali ke alam yang lebih baik.
Mereka yang telah melakukan Pattidana juga akan mendapatkan manfaat. Di mana perbuatan baik yang dilakukan adalah wujud bakti kepada sesama makhluk hidup, khususnya kepada arwah para keluarga yang telah meninggal.