Jika mendengarkan istilah "bakar uang," pikiran kita langsung tertuju pada kegiatan memboroskan uang. Kompasianer David Abdullah bahkan menghubungkannya dengan kaum jet set yang gemar menghambur-hamburkan uang.
Baca juga: Menilik Gaya Crazy Rich +62 "Bakar Uang", Apa itu Pandemi?
Tapi bagi masyarakat Tionghoa, "bakar uang" ini sudah berlangsung sejak lama. Tidak main-main, jumlahnya bisa mencapai triliunan untuk "sekali bakar." Bukan hanya uang. Ponsel terbaru, mobil sport, rumah mewah, hingga seluruh isinya pun akan dibakar jika perlu.
Tapi, yang dimaksud di sini bukanlah harta benda sungguhan. Mereka semua terbuat dari kertas. Tradisi ini sudah menjadi ritual oleh masyarakat keturunan Tionghoa sejak ribuan tahun lalu. Umum dilakukan menjelang perayaan-perayaan tradisi besar.
Uang kertas yang digunakan ini dikenal dengan sebutan 'uang arwah' atau 'uang hantu.'
Catatan Sejarah
Mereka meyakini bahwa uang yang bisa membeli kebahagiaan di dunia fana, juga berlaku sama di alam baka. Tentunya jika hidup para leluhur bercukupan, maka mereka akan 'membalas' jasa anak cucunya dengan memberikan rezeki yang sama.
Selain itu, hal ini juga dilakukan agar para keluarga yang masih hidup tidak perlu direpotkan lagi dengan kebutuhan keluarga yang sudah meninggal. Pokoknya uang yang bercukupan, seharusnya bisa membeli apa saja di dunia orang mati. Bayangkan jika tidak. Bisa-bisa setiap malam didatangi. Hii, ngerii!
Akan tetapi, jangan dulu beranggapan bahwa masyarakat Tionghoa selalu terjebak dalam tradisi transaksional. Wujud ritual "bakar uang" ini juga memiliki arti yang lebih mandalam;
Keikhlasan anggota keluarga untuk menghormati leluhur dan memaafkan seluruh kesalahan yang pernah terjadi semasa hidup.
Sejarah Ritual Bakar Uang
Terkisahkanlah raja Lie Sie Bien dari kerajaan Tang. Ia adalah seorang raja yang adil bijaksana yang memeluk agama Buddha.
Pada awalnya ia sangat puas dengan kondisi perekonomian rakyatnya. Namun, semuanya berubah drastis ketika ia melakukan perjalanan ke luar kota. Kenyataan miris ia dapatkan dimana kehidupan rakyat pinggiran ternyata sangat jauh berbeda dengan kemakmuran rakyat kota. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan. Mereka tidak punya apa-apa, kecuali pepohonan bambu yang ada di halaman rumah. Â
Setelah pulang dari perjalanannya, sang raja menjadi sedih. Ia lantas memikirkan cara agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi. Akhirnya, muncullah sebuah ide dari dirinya.
Sang raja berpura-pura mangkat. Ia berpesan agar tidak langsung dikuburkan untuk memberi kesempatan bagi keluarga kerajaan dan para petinggi istana untuk memberikan penghormatan terakhir.
Beberapa hari kemudian, sang raja "bangkit" dari kematiannya dan bercerita mengenai perjalanan dirinya menuju ke alam baka. Suatu pengalaman spiritual yang dialami semasa "kematiannya." Â
Raja berkisah bahwa ia telah bertemu dengan sanak saudara dan teman-temannya yang telah lama meninggal dunia. Walaupun mereka dulunya hidup senang dan mewah, tapi keadaan mereka sekarang sangat menderita. Kelaparan, kehausan, serta serba kekurangan.
Mahluk-mahluk menderita ini memohon kepada raja agar dapat menyampaikan kabar derita yang mereka alami kepada sanak keluarga yang masih hidup.
Satu-satunya cara untuk menolong para arwah menderita ini adalah dengan memberikan bantuan "uang" kepada mereka yang berada dalam penderitaan.Â
Uang tersebut terbuat dari bambu yang bisa dibeli dari penduduk di luar kota. Inilah cara yang digunakan raja untuk menghidupkan ekonomi dari para rakyat jelata yang hanya hidup dari berjualan bambu.
Makna Ritual Bakar Uang
Hingga kini ritual "bakar uang" masih menjadi tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Sebenarnya cukup aneh juga. Meskipun kisah ini berdasarkan tipu-tipuan sang raja, tapi masih tetap terjaga dengan utuh. Â
Namun, tradisi ini juga memiliki pesan moral yang baik. Terlepas dari apakah para leluhur bisa menikmati uang yang dibakar, aksi ini dianggap sebagai perlambang rasa bakti kepada mereka yang telah mendahului kita.
Ada tiga jenis uang arwah yang biasa digunakan dalam ritual pembakaran
Jenis kedua lazim disebut dengan uang perak, atau "yinzihi" atau "imcoa." Uang ini berbentuk lembar segi empat dengan cap berwarna perak. Dipersembahkan bagi arwah para leluhur dan dewa lokal (dewa bumi).
Ketiga adalah uang emas atau "Jinzhi" atau "kimcoa". Jenis uang ini diperuntukkan bagi dewa-dewi surgawi yang berada di langit.
Perspektif dalam Agama Buddha
Untuk itu, maka ada sebuah perspektif Buddhisme yang bisa menjadi penjelasan yang cukup bagus mengenai ritual ini.
Dalam agama Buddha, ada sebuah wujud kebaikan yang disebut dengan Pattidana (Pelimpahan Jasa). Wujud ini berupa penyaluran jasa kebajikan bagi mereka yang telah meninggal dunia. Bisa juga diartikan sebagai pemberian inspirasi kebajikan / kebahagiaan bagi makhluk lain.
Setelah melakukan perbuatan baik (dalam bentuk apa saja), maka seseorang (sanak keluarga) bisa menyatakan bahwa perbuatan baik tersebut dipersembahkan, atau dilakukan atas nama keluarga yang telah meninggal. Tujuannya agar para leluhur bisa turut berbahagia (mudita citta).
Konsepnya adalah jika para mendiang telah mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan oleh anak cucunya, maka mereka akan turut bangga dan berbahagia.
Perasaan bahagia adalah salah satu wujud dari perbuatan baik. Perbuatan baik itulah yang kemudian menjadi bekal bagi mereka untuk berkelana di alam baka atau terlahir kembali ke alam yang lebih baik.
Mereka yang telah melakukan Pattidana juga akan mendapatkan manfaat. Di mana perbuatan baik yang dilakukan adalah wujud bakti kepada sesama makhluk hidup, khususnya kepada arwah para keluarga yang telah meninggal.
Pesan moral dari ritual ini adalah bahwa pada dasarnya manusia harus memiliki wujud bakti selama ia masih hidup. Bahwasanya kita tidak bisa melupakan jasa orang-orang tua yang telah berjasa bagi diri kita.
Persembahan uang arwah (meskipun kadang salah kaprah), telah melambangkan usaha kita untuk selalu mengenang jasa mereka yang telah mendahului.
Sikap ini juga bisa menjadi sebuah empati untuk merasakan apa yang (mungkin) telah terjadi bagi mereka yang telah berada di sana. Tiada bedanya dengan berdoa dan memohon agar amal ibadah mereka diterima di sisi Nya.
Bagi yang ragu, sejujurnya kita tidak tahu apakah uang tersebut akan bisa dinikmati nantinya. Sebabnya kita belum meninggal dan tidak tahu apakah yang benar-benar berlaku di sana.
Namun, sekali lagi tidak usah diperdebatkan. Manusia memang kadang harus disentil agar ia menjadi lebih baik. Jika tradisi ini tidak ada, maka mungkin saja orang tionghoa tidak memiliki kebudayaan yang bisa dilakukan untuk menghormati jasa orangtua yang telah mendahuluinya.
Kalaupun para mendiang tidak bisa mendapatkan manfaat langsung dari pembakaran uang ini, minimal mereka akan merasa senang karena sudah didoakan oleh sanak keluarga yang masih hidup.
Pembakaran uang kertas adalah wujud lain dari doa dan harapan. Ia juga sangat berguna untuk melatih diri kita untuk mengembangkan rasa hormat kepada para pendahulu kita.
Semoga Bermanfaat!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia - versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H