Kala Reformasi bergulir pada tahun 1998, masa-masa suram mulai berakhir. Presiden Habibie mulai menerbitkan Inpres No 26/1998 yang membatalkan aturan diskriminatif kepada warga Tionghoa.
Beliau memperkenalkan konsep kebangsaan baru. Menurutnya takada konsep "keturunan masyarakat asli."Â Pada dasarnya bangsa Indonesia dibentuk oleh tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan Cina.
Dikotomi pribumi maupun non-pribumi timbul akibat kesalahan (atau kesengajaan politik) yang menyingkirkan komunitas Cina dari nasionalisme Indonesia.
Konsep kebangsaan yang diperkenalkan oleh Gus Dur, adalah konsep yang non-rasial. Gus Dur menyebut kelompok-kelompok etnis di Indonesia sebagai 'orang,' bukan 'suku.'
"Ia berbicara tentang orang Jawa (etnis Jawa), orang Maluku (etnis Maluku) dan orang Tionghoa yang kesemuanya adalah orang Indonesia. [...] Pada akhirnya ia mendesak 'penduduk pribumi' Indonesia untuk menyatu dengan etnis Tionghoa."Â (Etnis Tionghoa Nasionalisme Indonesia [2010, halaman 230]).
Konsep ini kemudian direalisasikan dalam penerbitan Inpres No 6/2000, sekaligus menganulir Inpres No. 14/1967 yang diterbitkan oleh Soeharto. Sejak saat itulah orang Tionghoa kembali bebas menjalankan kepercayaan, budaya, dan adat istiadatnya.
Meskipun sudah bisa merayakan hari raya imlek secara terbuka, baru dua tahun kemudian, imlek secara resmi dijadikan sebagai hari nasional. Adalah Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI ke-5 yang menyampaikannya pada saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553Â pada tanggal 17 Februari 2002. Setahun kemudian pada 2003, imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Ingat Imlek Ingat Gus Dur
Wakil Ketua Umum INTI, Budi S Tanuwibowo yang sama-sama tergabung dalam organisasi INTI (Indonesia Tionghoa) bersama penulis, pernah menceritakan pengalamannya mendengarkan arahan langsung dari Gus Dur sesaat sebelum Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dicabut.
Kala itu, Budi yang juga Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khonghucu mengingat bagaimana keputusan tersebut dilakukan secara cepat, spontan dan unik. Budi bahkan sempat kaget melihat sikap Gus Dur.
"Waktu itu, kami ngobrol sambil berjalan mengelilingi Istana. Gus Dur lalu bilang, oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya," kata Budi.