Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gus Dur, Imlek, dan Semangat Kebangsaan Non Rasial

12 Februari 2021   07:51 Diperbarui: 12 Februari 2021   07:52 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Haryanto Halim (sumber: inilahonline.com)

Pelarangan imlek ini hanyalah salah satu dari indoktrinisasi yang dilakukan selama periode orde baru. Menurut Tomy Su dalam "Pasang Surut Tahun Baru Imlek," yang terbit di Kompas (8/2/2005), tidak lama setelah Supersemar didengungkan, telah ada 21 beleid beraroma rasis terhadap etnis Cina.

Soekarno dan Soeharto (sumber: bbc.com)
Soekarno dan Soeharto (sumber: bbc.com)
Di antaranya adalah penutupan sekolah-sekolah berbahasa pengantar China, pelarangan aksara mandarin, pemusnahan lagu Tionghoa dari radio dan televisi, hingga pergantian nama tiga huruf menjadi nama "asli Indonesia."

"Dengan demikian ethnic cleansing atas Tionghoa tidak hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga pemusnahan segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya," tulis Tomy.

Alasan dari pemerintah bahwa manifestasi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang berpusat di negeri leluhurnya dapat memberikan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang berkenan bagi warga negara Indonesia.

Semua dilakukan atas dasar proses asimilasi etnis yang lebih kaffah. Atas dasar hal ini, sebutan "Tionghoa" pun berubah menjadi "Cina."

Autohypnotic Amnesia

Hingga hari ini tidak ada yang tahu mengapa Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres ini. Namun, satu yang pasti kebijakan ini berdampak lebih jauh dari hanya sekedar pelarangan.

Namun, satu yang pasti "Autohypnotic Amnesia" berdampak jauh lebih hebat dari hanya sekedar pergantian nama atau agama.  

Menurut antropolog James Dananjaya, akibat indoktrinisasi sistematis yang dilakukan di masa orde baru, etnis Tionghoa telah dipaksa secara sadar atau tidak untuk melupakan jati diri etnisnya. (Imlek 2000: Psikoterapi untuk Amnesia Etnis Tionghoa).

Foto James Dananjaya (sumber: nasional.tempo.co)
Foto James Dananjaya (sumber: nasional.tempo.co)
Memang pelarangan imlek dan hari raya Tionghoa lainnya tidak dilarang sepenuhnya. Pemerintah orde baru menitahkan untuk melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dalam "suasana hening keluarga."

Tak ayal "sikap sembunyi-sembunyi" yang dilakukan oleh warga Tionghoa kemudian menimbulkan kesan yang buruk. Imlek yang tertutup membuat mereka cenderung tidak menerima tamu yang tidak dikenal baik. Bukannya tidak membaur, tapi takut akan menimbulkan polemik.

Agaknya gara-gara bledeid ini, komunitas Tionghoa menerima stigma sebagai masyarakat yang ekslusif dan terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Mereka tidak diakui sebagai suku bangsa, dan mendapat label "non pribumi."

Konsep Kebangsaan Non Rasial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun