Pelarangan imlek ini hanyalah salah satu dari indoktrinisasi yang dilakukan selama periode orde baru. Menurut Tomy Su dalam "Pasang Surut Tahun Baru Imlek," yang terbit di Kompas (8/2/2005), tidak lama setelah Supersemar didengungkan, telah ada 21 beleid beraroma rasis terhadap etnis Cina.
"Dengan demikian ethnic cleansing atas Tionghoa tidak hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga pemusnahan segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya," tulis Tomy.
Alasan dari pemerintah bahwa manifestasi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang berpusat di negeri leluhurnya dapat memberikan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang berkenan bagi warga negara Indonesia.
Semua dilakukan atas dasar proses asimilasi etnis yang lebih kaffah. Atas dasar hal ini, sebutan "Tionghoa" pun berubah menjadi "Cina."
Autohypnotic Amnesia
Hingga hari ini tidak ada yang tahu mengapa Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres ini. Namun, satu yang pasti kebijakan ini berdampak lebih jauh dari hanya sekedar pelarangan.
Namun, satu yang pasti "Autohypnotic Amnesia" berdampak jauh lebih hebat dari hanya sekedar pergantian nama atau agama. Â
Menurut antropolog James Dananjaya, akibat indoktrinisasi sistematis yang dilakukan di masa orde baru, etnis Tionghoa telah dipaksa secara sadar atau tidak untuk melupakan jati diri etnisnya. (Imlek 2000: Psikoterapi untuk Amnesia Etnis Tionghoa).
Tak ayal "sikap sembunyi-sembunyi" yang dilakukan oleh warga Tionghoa kemudian menimbulkan kesan yang buruk. Imlek yang tertutup membuat mereka cenderung tidak menerima tamu yang tidak dikenal baik. Bukannya tidak membaur, tapi takut akan menimbulkan polemik.
Agaknya gara-gara bledeid ini, komunitas Tionghoa menerima stigma sebagai masyarakat yang ekslusif dan terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Mereka tidak diakui sebagai suku bangsa, dan mendapat label "non pribumi."