Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Politik Baperan" ala AHY, Strategi Nomor 34 "Art of War Sun-Tzu"

3 Februari 2021   10:28 Diperbarui: 3 Februari 2021   10:44 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayo Ikut Blog Shop Bersama KPB dan Tribun-Timur.com (sumber: properti KPB, design by Andri Sonda, Manna Creative Design, Makassar)

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meradang. Ketua Umum Partai Demokrat (PD) ini menuduh ada sekelompok orang sedang berupaya mengkudetanya sebagai pimpinan partai. Tidak main-main, putra presiden ke-6 RI itu mengarahkan telunjuknya ke istana.

AHY mengatakan berdasarkan laporan yang ia terima ada lima orang yang terlibat sebagai motor penggerak, yang tediri dari dua kader aktif, dua mantan kader, dan satu orang dari pihak eksternal.

Lebih lanjut, AHY menyebut pihak eksternal sebagai pejabat tinggi pemerintahan Joko Widodo.

Moeldoko Meradang. Kepala Staf Presiden (KSP) itu tidak terima jika Presiden Jokowi dilibatkan. Ia mengakui bahwa awal isu kudeta itu berasal dari kunjungan para pihak internal PD ke kediamannya pribadi, bukan selaku KSP.

Moeldoko mengatakan bahwa dirinya prihatin dengan situasi terkini di PD karena ia juga mencintai Demokrat. Ia juga berpesan kepada AHY agar menjadi sosok pemimpin yang kuat dan tidak mudah "baperan."

Sampai di sini, penulis tidak akan membahas lagi polemik yang terjadi di antara AHY dan Moeldoko. Sudah terlalu banyak isu yang dibahas di seantero jagat maya.

Penulis hanya akan membahas mengenai "politik baperan" yang dituduhkan oleh Moeldoko kepada AHY. Kata kerennya, "playing victim," alias berperan sebagai korban.

Dalam psikologi, playing victim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memposisikan dirinya sebagai korban.

Menurut Aulia Ulil Irsyadiyah, seorang psikolog asal Semarang (limone.id), playing victim biasanya dilakukan oleh seseorang yang tidak nyaman dengan kemarahannya sendiri, atau bisa juga untuk melindungi diri mereka sendiri, atau untuk mengubah alur cerita agar sang pencetus seolah-olah menjadi korban.

"Padahal bisa jadi ia adalah pelakunya atau orang yang bersalah dalam situasi tersebut," pungkas Aulia.

Lebih lanjut, Aulia juga mengatakan bahwa bisa saja sikap ini mengarah kepada gangguan mental, jika terlalu sering menampilkannya. Walau pun demikian, tidak ada tindakan medis tertentu yang bisa mengobati gangguan mental ini. Aulia lebih menyarankan kepada perbaikan diri dengan bersikap lebih bijak.

Menurutnya, biasanya individu yang memposisikan dirinya sebagai korban adalah, "individu yang tidak memiliki kesadaran dalam dirinya untuk bertanggung jawab menyelesaikan persoalan yang ia hadapi tanpa menyalahkan orang lain atas situasi yang terjadi."

Tunggu dulu, jangan "baperan" dan langsung menganggap penulis menuduh AHY sebagai orang yang suka playing victim. Lagipula ini hanyalah pernyataan dari Moeldoko yang meminta agara AHY jangan "baperan."

Tapi, jika benar demikian, apakah lantas AHY bisa masuk dalam kategori gangguan mental psikologi? Tidak sesederhana itu, Sobat!

AHY adalah politikus kelas kakap. Terlepas dari usianya yang masih tergolong muda, ia bukanlah praktisi kacang-kacangan. Sejarah panjang keluarganya di bidang politik dan posisinya sebagai ketua umum PD telah membuktikannya.

Playing Victim atau "politik baperan" juga dikenal sebagai salah satu strategi politik ampuh. Dalam peperangan, strategi politik bisa menjadi senjata yang lebih mematikan dibandingkan peluru hingga rudal pemburu.

Bahkan strategi ini juga tertera dalam teori "The Art of War," besutan salah satu ahli strategi perang Tiongkok Kuno, Sun Tzu. Dalam naskah 36 strategi perang yang dibesutnya berabad-abad yang lalu, strategi "politik baperan," berada pada nomor 34, dengan isi;

"Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan."

Kemungkinan pertama, musuh akan menjadi santai karena tidak menganggap Anda sebagai ancaman serius. Dengan kondisi "lemah," musuh pun akan lengah. Di situlah saat yang tepat untuk menyerang balik.

Yang kedua adalah jalan mendapatkan posisi kuat untuk mendapatkan dukungan moral atau pembenaran terhadap serangan. Dengan demikian, kekuatan serangan akan bertambah.

Strategi ini telah banyak digunakan dalam kancah politik Indonesia dan dunia. Salah satu yang paling ampuh adalah yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Kejadian Pearl Harbour yang dibom habis-habisan oleh tentara kekaisaran Jepang pada tahun 1941, telah memantapkan langkah Amerika untuk masuk terlibat dalam Perang Dunia II. Menjadi "korban" dalam serangan, seolah-olah menjustifikasi langkah AS dalam melakukan kejahatan manusia terbesar dalam sejarah, yaitu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.

Hal yang sama pun terulang di tahun 2001. Serangan teroris ke WTC telah membuka dukungan dari berbagai pihak kepada negara adidaya ini. Serangan ke Afghanistan dan Irak menyebabkan Saddam Hussein dihukum mati, Osama Bin Laden terbunuh, Irak hancur, dan senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan.

Dua kejadian ini masuk dalam teori konspirasi, bahwa Amerika Serikat sedang menjalankan "politik baperan," untuk mengangkat nama besarnya di panggung politik dunia.

Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Yahudi yang memposisikan dirinya sebagai bangsa terjajah, terlantar, dan tidak memiliki negara. Tujuannya untuk memancing simpatik negara lain mendukung langkahnya menduduki wilayah Palestina untuk mendirikan negara Israel di tahun 1947.

Di Indonesia sendiri, pemberontakan G 30 S PKI adalah salah satu contoh terbaik. Terlepas apakah peristiwa ini adalah "settingan," seperti yang dituduhkan oleh banyak pengamat atau pun tidak, momen ini telah menjadi pembuka jalan yang mulus bagi Soeharto untuk menjadi presiden ke-2 RI.

**

Meskipun kata "Baperan" sering berkonotasi negatif, namun tidak selamanya "politik baperan" itu buruk. Mahatma Gandhi memposisikan dirinya sebagai orang yang terzalimi agar rakyat India Bersatu padu merebut kemerdekaan dari penjajah kolonial Inggris.

Akan tetapi, politik baperan hanya akan sukses jika mendapat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, maka rangkaian keadaan, bukti otentik, isu peristiwa harus merupakan bagian yang kuat untuk membentuk opini yang solid di masyarakat. Jika tidak, politik baperan hanya akan berakhir dengan "baperan betulan."

Politik ini memang "ngeri-ngeri sedap." Tidak ada kawan, tidak ada lawan. Yang ada hanyalah kepentingan bersama. Merangkai isu politik tiada bedanya dengan merangkai sebuah karya literasi. Wacana dan peristiwa bagaikan potongan-potongan kisah yang menyatu dalam sebuah cerita bersambung. Seberapa bagus isinya, pada akhirnya hanya akan mengendap dalam rak buku pewaris bangsa.

**

Menarik juga untuk melihat isu "kudeta" lainnya yang sedang viral di Myanmar yang dilakukan oleh junta militer terhadap pemerintah yang sah.

Menurut penulis, kesuksesan kudeta oleh militer, akan sangat tergantung pada "bapernya" masyarakat Myanmar. Jika Aung San Syuu Ki ternyata lebih pantas "dibaperin," maka kudeta tidak akan berhasil, dan pemerintah yang sah akan semakin mendapatkan legitimasi dari rakyat dan warga dunia.

Sayangnya, "kudeta" di Partai Demokrat masih merupakan isu. AHY tidak akan mengalami apa yang dirasakan oleh Aung San Syuu Ki yang telah menghilang sejak kudeta digencarkan pada 1 Februari 2021. AHY masih bebas dan masih menjabat ketua umum PD. Tidak ada yang terzalimi di sini.

Bagaimana peluang kudeta di tubuh Demokrat? Tidak usah "baperan," ah!

Ayo Ikut Blog Shop Bersama KPB dan Tribun-Timur.com (sumber: properti KPB, design by Andri Sonda, Manna Creative Design, Makassar)
Ayo Ikut Blog Shop Bersama KPB dan Tribun-Timur.com (sumber: properti KPB, design by Andri Sonda, Manna Creative Design, Makassar)
 

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun