Menurutnya, biasanya individu yang memposisikan dirinya sebagai korban adalah, "individu yang tidak memiliki kesadaran dalam dirinya untuk bertanggung jawab menyelesaikan persoalan yang ia hadapi tanpa menyalahkan orang lain atas situasi yang terjadi."
Tunggu dulu, jangan "baperan" dan langsung menganggap penulis menuduh AHY sebagai orang yang suka playing victim. Lagipula ini hanyalah pernyataan dari Moeldoko yang meminta agara AHY jangan "baperan."
Tapi, jika benar demikian, apakah lantas AHY bisa masuk dalam kategori gangguan mental psikologi? Tidak sesederhana itu, Sobat!
AHY adalah politikus kelas kakap. Terlepas dari usianya yang masih tergolong muda, ia bukanlah praktisi kacang-kacangan. Sejarah panjang keluarganya di bidang politik dan posisinya sebagai ketua umum PD telah membuktikannya.
Playing Victim atau "politik baperan" juga dikenal sebagai salah satu strategi politik ampuh. Dalam peperangan, strategi politik bisa menjadi senjata yang lebih mematikan dibandingkan peluru hingga rudal pemburu.
Bahkan strategi ini juga tertera dalam teori "The Art of War," besutan salah satu ahli strategi perang Tiongkok Kuno, Sun Tzu. Dalam naskah 36 strategi perang yang dibesutnya berabad-abad yang lalu, strategi "politik baperan," berada pada nomor 34, dengan isi;
"Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan."
Kemungkinan pertama, musuh akan menjadi santai karena tidak menganggap Anda sebagai ancaman serius. Dengan kondisi "lemah," musuh pun akan lengah. Di situlah saat yang tepat untuk menyerang balik.
Yang kedua adalah jalan mendapatkan posisi kuat untuk mendapatkan dukungan moral atau pembenaran terhadap serangan. Dengan demikian, kekuatan serangan akan bertambah.
Strategi ini telah banyak digunakan dalam kancah politik Indonesia dan dunia. Salah satu yang paling ampuh adalah yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Kejadian Pearl Harbour yang dibom habis-habisan oleh tentara kekaisaran Jepang pada tahun 1941, telah memantapkan langkah Amerika untuk masuk terlibat dalam Perang Dunia II. Menjadi "korban" dalam serangan, seolah-olah menjustifikasi langkah AS dalam melakukan kejahatan manusia terbesar dalam sejarah, yaitu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.