Hal yang sama pun terulang di tahun 2001. Serangan teroris ke WTC telah membuka dukungan dari berbagai pihak kepada negara adidaya ini. Serangan ke Afghanistan dan Irak menyebabkan Saddam Hussein dihukum mati, Osama Bin Laden terbunuh, Irak hancur, dan senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan.
Dua kejadian ini masuk dalam teori konspirasi, bahwa Amerika Serikat sedang menjalankan "politik baperan," untuk mengangkat nama besarnya di panggung politik dunia.
Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Yahudi yang memposisikan dirinya sebagai bangsa terjajah, terlantar, dan tidak memiliki negara. Tujuannya untuk memancing simpatik negara lain mendukung langkahnya menduduki wilayah Palestina untuk mendirikan negara Israel di tahun 1947.
Di Indonesia sendiri, pemberontakan G 30 S PKI adalah salah satu contoh terbaik. Terlepas apakah peristiwa ini adalah "settingan," seperti yang dituduhkan oleh banyak pengamat atau pun tidak, momen ini telah menjadi pembuka jalan yang mulus bagi Soeharto untuk menjadi presiden ke-2 RI.
**
Meskipun kata "Baperan" sering berkonotasi negatif, namun tidak selamanya "politik baperan" itu buruk. Mahatma Gandhi memposisikan dirinya sebagai orang yang terzalimi agar rakyat India Bersatu padu merebut kemerdekaan dari penjajah kolonial Inggris.
Akan tetapi, politik baperan hanya akan sukses jika mendapat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, maka rangkaian keadaan, bukti otentik, isu peristiwa harus merupakan bagian yang kuat untuk membentuk opini yang solid di masyarakat. Jika tidak, politik baperan hanya akan berakhir dengan "baperan betulan."
Politik ini memang "ngeri-ngeri sedap." Tidak ada kawan, tidak ada lawan. Yang ada hanyalah kepentingan bersama. Merangkai isu politik tiada bedanya dengan merangkai sebuah karya literasi. Wacana dan peristiwa bagaikan potongan-potongan kisah yang menyatu dalam sebuah cerita bersambung. Seberapa bagus isinya, pada akhirnya hanya akan mengendap dalam rak buku pewaris bangsa.
**
Menarik juga untuk melihat isu "kudeta" lainnya yang sedang viral di Myanmar yang dilakukan oleh junta militer terhadap pemerintah yang sah.
Menurut penulis, kesuksesan kudeta oleh militer, akan sangat tergantung pada "bapernya" masyarakat Myanmar. Jika Aung San Syuu Ki ternyata lebih pantas "dibaperin," maka kudeta tidak akan berhasil, dan pemerintah yang sah akan semakin mendapatkan legitimasi dari rakyat dan warga dunia.