Perkembangan istilah ini disebabkan karena dulunya, ahli pengobatan tradisional atau dukun selalu membaca doa yang dimohonkan kepada Tuhan YME sebelum memberikan ramuan untuk menyembuhkan penyakit.
Itulah mengapa sebagian masyarakat memandang Jamu sebagai hal klenik yang berbau mistis. Padahal jika ditelaah lebih jauh, doa pada jamu yang berasal dari herbal dan ekstrak alami ini hanyalah unsur pelengkap.
Bukankah sangat manusiawi jika berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan YME?
Sejarah mencatat bahwa perkembangan meracik jamu kental dengan kalangan istana. Kala itu, jamu hanya diracik bagi keluarga kerajaan. Pengenalan jamu ke luar keraton diperkirakan terjadi pada akhir Kerajaan Majapahit dan berlanjut pada kerajaan-kerajaan sesudahnya.
Pada awalnya, jamu juga hanya dibuat oleh mereka yang memiliki keahlian khusus turun-temurun saja. Orang-orang pintar ini tidak banyak jumlahnya dan pada umumnya hanya terkonsentrasi di seputaran lingkar istana saja.
Distribusi pengobatan tradisional tidak bisa dilakukan sampai ke pelosok desa. Masyarakat yang tinggal jauh dari orang pintar tersebut kemudian membutuhkan perantara.
Orang yang diberikan kepercayaan untuk sistem distribusi kemudian menciptakan peluang ekonomi baru dengan sistem barter. Jamu yang ditukar dengan bahan makanan sangat menguntungkan kedua belah pihak. Â
Lama kelamaan, distribusi jamu ke pinggiran menjadi rutin. Pada perkembangan berikutnya, penjualan jamu di desa-desa dilakukan secara berkeliling.
Pada tahap selanjutnya, masyarakat desa tidak lagi memerlukan jasa orang pintar. Agar praktis, mereka lantas mengelola jamunya sendiri, berdasarkan resep yang diperoleh dari sang orang pintar.
Resep ini terbukti ampuh dan disebarkan dari mulut ke mulut, sehingga semakin banyak orang yang mengetahuinya. Di sinilah merupakan awal perkembangan industri jamu di pedesaan.