Selain itu, di Yogyakarta dan Surakarta, alat pembuat jamu lainnya juga marak ditemukan. Relief-relief Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Brambang, banyak mengisahkan kesaktian para pendekar dan petinggi kerajaan yang diperoleh dari ramuan herbal.
Di zaman penjajahan Jepang, tradisi minum jamu kembali populer dengan terbentuknya Komite Jamu Indonesia. Dengan perkembangan teknologi, jamu pun berasimilasi. Jamu mulai banyak ditemukan dalam bentuk pil, tablet, dan juga bubuk instan yang mudah diseduh.
Di tahun 1974 hingga 1990, dikenallah istilah Fitofarmaka, alias industri jamu. Pembinaan dan dukungan oleh pemerintah meramaikan tumbuh maraknya industri ini secara masif.
Sayangnya perkembangan teknologi ini membuat semakin sedikit generasi muda yang ingin mempelajari cara membuat jamu. Bagi mereka jamu tiada lain hanyalah sachetan pelengkap yang dapat dengan mudah diperoleh di mini market terdekat.
Jamu adalah warisan turun-temurun yang berasal dari budaya Nusantara asli. Jamu memiliki banyak faedah. Bukan hanya dari sisi kesehatan saja, tetapi juga makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Siapa tahu saja, di antara ilmu kuno tersebut, terdapat rahasia yang mampu memberikan kesaktian pendekar sakti dari zaman Majapahit? Mana tahu proses pembuatan jamu juga melibatkan banyak jampi-jampi sakti?
Ngomong-ngomong tentang jampi, tahukah kamu jika Jamu berasal dari dua kata Jawa Kuno, yaitu Djampi dan Oesodo, yang berarti "Penyembuhan-Kesehatan"
Tidak semua orang yang dianggap mampu memberikan Djampi-Oesodo ini. Hanyalah orang terpilih yang memiliki resep warisan dan keahlian turun temurun. Tidak heran jika posisi ini dianggap sakti oleh masyarakat.
Begitu pula dengan kata "Jampi-Jampi," yang seharusnya berarti pengobatan ini kemudian berkembang menjadi, "kata-kata atau kalimat yang dibaca atau diucapkan, dapat mendatangkan daya gaib (pengobatan)." (KBBI).