Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Filosofi Yin-yang dalam Masakan China, Resep Rahasia Tiada Tara

10 Januari 2021   12:34 Diperbarui: 10 Januari 2021   12:55 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Restoran New Garden, Pullman, Washington, Amerika Serikat, 1992.

Pelayan nampak sumrigah melihat kedatangan penulis dan kawan-kawan mahasiswa lainnya dari Indonesia. Kelihatannya, wajah kami yang oriental menjadi penyebabnya.

Memang sih sekilas mata memandang, restoran yang ramai tersebut dipenuhi dengan wajah bule di seluruh penjuru.

Sang pelayan, seorang wanita Tionghoa berusia 50an datang dengan satu set buku menu berwarna coklat. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di samping meja siap dengan pulpen dan kertas di tangan.

Sewaktu kami membolak balik halaman menu, ia nampak tak sabaran. Penulis pun menunjuk ke sebuah menu yang tersemat 'bintang rekomendasi.' Menu tersebut bernama 'Chop Soey,' atau yang lebih dikenal sebagai 'Cap Chay'di Indonesia.

Sang pelayan yang tidak sabaran, kelihatan kecewa dengan pilihan penulis. Ia pun berkata;

"Don't pick that one, it's just for American. They don't know shit about Chinese Foods."

"Jangan pilih itu, menu itu hanya untuk bule Amerika. Mereka tidak tahu (umpatan) apapun tentang makanan tionghoa."

Sontak suasana yang ramai, tiba-tiba menjadi sepi. Semua mata memandang kepada kami. Tubuh kecil sang pelayan ternyata tidak sebanding dengan gelegar suaranya.

Untunglah kerusuhan tidak terjadi. Sepertinya memang para pelanggan sudah mengenal baik sang pelayan yang sebenarnya baik hati. Lagipula ini memang restoran china yang secara defacto adalah wilayah kekuasaan mata sipit.

Sang pelayan pun membalik buku menu tersebut hingga ke halaman paling akhir. Ada 4 menu yang terpampang dengan judul 'Secret's Recipe,' (resep rahasia). Nama pada menu tersebut tidak kedengaran biasa, yaitu;

Beggar's Chicken (Ayam Pengemis), Husband and Wife's Lung Slice (Potongan Paru-paru Suami Istri), Ants on The Tree (Semut di atas Pohon), dan Buddha Jumps Over the Wall (Buddha Melompati Tembok).

**

Makanan China (Chinese Foods) memang unik, Bukan hanya masalah keragaman rasa, tapi juga hikayat di belakangnya. Hal ini disebabkan karena kebudayaan dan sejarah China kuno selalu menempatkan filosofi dalam berbagai aspek kehidupan.

Pun halnya dengan masakan. Konsep Yin-yang dan Lima Elemen Wu-xing secara tradisional telah menjadi prinsip filsafat dalam setiap masakan. Kompleksitas resep, nama, dan teknik pengolahan, semuanya harus selaras dengan hukum alam dan juga tata krama.

Konsep Yin-Yang dalam Masakan China

Secara singkat, filsafat 'Yin-yang' menjelaskan bahwa fenomena alam memiliki hubungan dengan dua kekuatan yang berlawanan, tetapi saling mendukung satu sama lain. Filsafat 'Yin-yang' ini menjadi prinsip dasar dari pengolahan hampir seluruh masakan China.

Secara umum masakan yang mengandung banyak air, seperti rebusan, kukusan, kuah, disebut dengan Yin, karena sifatnya yang dingin. Sementara makanan berlemak, digoreng, dibakar, disebutkan memiliki sifat Yang atau sesuatu yang panas.

Konsep keseimbangan ini mengajarkan bahwa penyajian makanan yang tepat dan lezat harus mampu mewakili unsur Yin-yang di dalamnya. Bukan hanya penyajian saja, namun juga pemilihan bahan dan teknik pengolahan yang baik.

Masyarakat China kuno meyakini bahwa apa yang tersedia di alam pasti memiliki salah satu unsur dari Yin atau Yang. Oleh sebab itu, makanan yang berkelas harus bisa mengandung bahan atau rempah yang merupakan penggabungan dari kedua unsur ini.

Teori ini juga percaya bahwa konsep waktu sangat mempengaruhi keseimbangan. Sebagai contoh, pada saat cuaca sedang dingin, makanan dengan unsur Yang haruslah diutamakan. Begitu pula pada saat udara sedang panas, mengkonsumsi makanan dengan unsur Yin sangatlah disarankan.

Konsep waktu juga mempengaruhi durasi teknik memasak. Pengolahan yang cepat dan kasar, seperti tumis dan goreng disebut berhubungan dengan Yang, sementara mengukus atau merebus lama untuk mendapatkan hasil yang maksimal disebut dengan teknik Yin.

Lebih jauh lagi, filosofi Ying-yang ini juga mengajarkan diet yang tepat bagi masyarakat China agar kesehatan dapat terjaga prima. Seseorang yang sudah terbiasa memakan diet yang seimbang, akan membantunya terhindari penyakit dan juga permasalahan emosi.

Konsep Lima Elemen Wu-xing dalam Masakan China

Filsafat ini mengajarkan bahwa pada dasarnya semua materi di bumi tidak saja mengandung unsur Yin-yang, tapi juga merupakan keterwakilan dari ke lima elemen, yaitu Logam, kayu, Air, Api, dan Tanah.

Dari kelima elemen ini, muncullah ide tentang adanya lima rasa, yaitu; pahit, manis, pedas, asin, dan asam. Rasa ini kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok besar Yin-yang, dimana rasa manis dan pedas dianggap sebagai unsur Yin, sementara pahit, asin, dan asam adalah unsur Yang.

Filsafat Lima elemen Wu-xing juga memaknai warna pada bahan masakan, yaitu merah (api), kuning (logam), putih (tanah), biru (api), dan hijau (kayu). Warna ini kemudian menjadi faktor perimbangan kehadiran dari kelima unsur, baik dari sisi bahan yang digunakan, maupun tampilan masakan yang disajikan.

Faktor lainnya lagi berasal dari karakteristik bau, rasa, dan nilai gizi. Bagi masyarakat Tionghoa, lima organ utama dari tubuh (limpa, paru-paru, ginjal, hati, dan kantung empedu) disebutkan memiliki lima rasa yang berbeda dan juga memiliki fungsi khusus bagi kesehatan tubuh manusia.

Bagaimana Filsafat China Kuno diterapkan pada Makanan China?

Intinya setiap masakan harus bisa mengandung kedua unsur dan lima elemen ini secara merata. Caranya bisa berupa penyajian, seperti makanan berkuah harus disajikan dengan makanan yang dibakar. Bisa juga berupa bahan yang digunakan dalam satu jenis masakan, seperti gorengan (Yang) dalam kuah asam-manis (Yin).

Begitu pula dengan tekstur dan cara memasak. Gabungan harus berasal dari bahan berbeda sehingga mampu menghasilkan keseimbangan dalam rasa (manis, pedas, pahit, asam, dan asin).

Koki yang andal juga akan memperhatikan tampilan akhir dari penyajian. Keseimbangan warna harus terjaga. Misalnya daging yang bewarna kecoklatan, sebaiknya disajikan dengan warna sayuran yang kontras, seperti tomat merah, paprika kuning, atau sawit hijau.

**

Kembali kepada suasana di Restoran New Garden, Pullman, Washington, Amerika Serikat, 1992.

Kami akhirnya memesan "Buddha Jumps Over The Wall." Sebabnya, dari keempat pilihan yang tersedia, menu inilah yang memiliki nama yang paling lucu.

Menu Buddha Jumps Over The Wall (sumber: foodindicator.com)
Menu Buddha Jumps Over The Wall (sumber: foodindicator.com)
Setelah menunggu cukup lama, di hadapan kami tersajilah sebuah masakan dengan macam-macam jenis makanan. Isinya adalah telur puyuh, rebung, scallops, abalone, ayam, gingseng, jamur hitam (jamur china), dan kuah sirip ikan. Konon masakan ini adalah salah satu delikasi yang paling terkenal dari seluruh makanan China yang ada.

Banyak hikayat di belakang masakan "Buddha Jumps Over The Wall" ini. Salah satunya adalah kisah tentang seorang cendekiawan pada zaman Dinasti Qing yang melakukan perjalanan menuju ke istana untuk mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh kerajaan.

Dalam perjalanan yang memakan waktu cukup lama, sang cendekiawan menyiapkan seluruh bahan makanan yang diawetkan yang disimpannya ke dalam guci tanah liat yang biasa digunakan untuk menyimpan arak.

Di suatu siang pada saat sedang istirahat, sang cendekiawan memanaskan guci tanah liat tersebut di atas api. Bau masakan yang ditimbulkan begitu harum sehingga bisa tercium dari jarak jauh.

Di sekitar tempat sang cendekiawan beristirahat, terdapatlah sebuah kuil Buddha. Di dalam kuil tersebut ada beberapa orang Biksu yang sedang berlatih meditasi. Namun, ternyata bau masakan yang timbul dari pot tanah liat sang cendekiawan mampu menggoda para biksu.

Akhirnya karena tak tertahankan lagi, para biksu pun meninggalkan latihan meditasi mereka dan melompati tembok kuil untuk bergabung dengan sang cendekiawan menikmati makanan yang dimasak.

Inilah mengapa masakan ini diberi nama "Buddha Jumps Over the Wall," karena baunya yang sedap bisa menggoda 'Buddha' untuk melompati tembok yang tinggi.

Yang lebih hebatnya lagi, konon untuk mendapatkan sensasi terbaik dari masakan ini adalah dengan cara mempersiapkan seluruh bahannya selama 2 hari.

**

Penulis sudah lupa bagaimana rasa masakan ini, karena kejadiannya sudah hampir 30 tahun yang lalu. Namun, satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah senyuman manis sang pelayan pada saat kami selesai menyantap seluruh makanan.

Pelayan nampak sumrigah melihat penulis meminta bill untuk membayar makanan yang sudah habis disantap. Tapi kali ini jauh berbeda. Senyumannya sangat sepadan dengan harga yang harus dibayar.

Jumlahnya menyamai jatah makan pagi, siang, dan malam selama dua hari di restoran cepat saji. Pantasan saja sang pelayan tidak menyukai tamu bule, karena hanya orang Tionghoa saja yang rela membayar masakan yang harganya selangit ini.

Bagaimana dengan penulis? Sayangnya, rasa sakit itu tuh, masih disini lho!

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun