Dalam perjalanan yang memakan waktu cukup lama, sang cendekiawan menyiapkan seluruh bahan makanan yang diawetkan yang disimpannya ke dalam guci tanah liat yang biasa digunakan untuk menyimpan arak.
Di suatu siang pada saat sedang istirahat, sang cendekiawan memanaskan guci tanah liat tersebut di atas api. Bau masakan yang ditimbulkan begitu harum sehingga bisa tercium dari jarak jauh.
Di sekitar tempat sang cendekiawan beristirahat, terdapatlah sebuah kuil Buddha. Di dalam kuil tersebut ada beberapa orang Biksu yang sedang berlatih meditasi. Namun, ternyata bau masakan yang timbul dari pot tanah liat sang cendekiawan mampu menggoda para biksu.
Akhirnya karena tak tertahankan lagi, para biksu pun meninggalkan latihan meditasi mereka dan melompati tembok kuil untuk bergabung dengan sang cendekiawan menikmati makanan yang dimasak.
Inilah mengapa masakan ini diberi nama "Buddha Jumps Over the Wall," karena baunya yang sedap bisa menggoda 'Buddha' untuk melompati tembok yang tinggi.
Yang lebih hebatnya lagi, konon untuk mendapatkan sensasi terbaik dari masakan ini adalah dengan cara mempersiapkan seluruh bahannya selama 2 hari.
**
Penulis sudah lupa bagaimana rasa masakan ini, karena kejadiannya sudah hampir 30 tahun yang lalu. Namun, satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah senyuman manis sang pelayan pada saat kami selesai menyantap seluruh makanan.
Pelayan nampak sumrigah melihat penulis meminta bill untuk membayar makanan yang sudah habis disantap. Tapi kali ini jauh berbeda. Senyumannya sangat sepadan dengan harga yang harus dibayar.
Jumlahnya menyamai jatah makan pagi, siang, dan malam selama dua hari di restoran cepat saji. Pantasan saja sang pelayan tidak menyukai tamu bule, karena hanya orang Tionghoa saja yang rela membayar masakan yang harganya selangit ini.
Bagaimana dengan penulis? Sayangnya, rasa sakit itu tuh, masih disini lho!