Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Saat Penulis Tak Doyan Duit, Bagi Buku Gratis

28 Desember 2020   14:34 Diperbarui: 29 Desember 2020   03:44 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap penulis pasti memiliki angan untuk memiliki buku karya sendiri. Apalagi jika buku tersebut laris manis dan menjadi 'best seller.' Tidak semua penulis memiliki hak eksklusif ini.

Pun halnya dengan menyodorkan tulisan di majalah atau surat kabar besar. Bahagianya melebihi dari sekedar uang yang didapatkan dari hasil karya tulis.

Tapi itu zaman dulu. Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin banyak penulis yang bisa menuangkan isi kepalanya di dunia maya. Menulis di blog keroyokan semacam Kompasiana, atau menciptakan blog sendiri, tidak lagi terlalu susah.

Pun halnya dengan menerbitkan buku. E-book atau buku digital tidak memerlukan usaha ekstra dan biaya besar dibandingkan dengan menerbitkan buku cetak. Cukup ketik, masukkan dalam bentuk pdf. Selesai lah. Tidak peduli ada yang baca atau tidak baca. Pokoknya jadi.

Hal ini saya raskan sendiri di saat mengerjakan proyek buku kompilasi "Pengaruh Hukum Karma dan Angka Terhadap Kehidupan Manusia," bersama rekan saya Dr.Toni Yoyo, penulis buku best seller terbitan Gramedia, "Unleash The Real You."

Foto Buku Pengaruh Hukum Karma dan Angka Terhadap Kehidupan Manusia (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Foto Buku Pengaruh Hukum Karma dan Angka Terhadap Kehidupan Manusia (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Proyek ini dimulai sejak bulan April tahun 2018. Namun, baru resmi diluncurkan nanti pada tanggal 2 Januari 2021. Hampir 3 tahun!

Penyebabnya, karena tidak ada satu pun penerbit yang bersedia menanganinya. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari isi yang kurang menarik, terlalu spesifik untuk kalangan pembaca tertentu, terlalu banyak buku yang menanti diterbitkan, hingga biaya penerbitan yang terlalu mahal.

Hingga akhirnya kabar gembira datang dari Dr.Toni sekitar bulan September lalu. Buku ini akan diterbitkan dengan format e-book. Alhamdulilah!

Sebenarnya buku ini merupakan buku kedua saya. Sebelumnya saya telah menerbitkan sebuah buku secara swadaya dengan judul. "Buku Panduan Workshop Numerology Pythagoras."

Buku pertama ini tidak dijual untuk umum, namun wajib dimiliki oleh murid yang hendak mengambil "Workshop atau seminar Numerology Pythagoras," yang sering kuselenggarakan sebelum masa pandemi di beberapa kota di Indonesia. Isinya pun lumayan jelimet. Banyak mengupas filsafat angka dan rumus Numerologi yang unik.

Foto Buku Panduan Workshop Numerology Pythagoras (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Foto Buku Panduan Workshop Numerology Pythagoras (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Buku kedua ini isinya lebih nyata, meskipun buku ini juga membahas mengenai teori Karma dari sudut pandang Buddhisme. Namun, tetap lebih mudah dicerna daripada rumus Numerologi plus filosofi dari otak yang sedang ilusi.

jujur ada sedikit kekecewaan, sebabnya buku ini tidak diterbitkan dalam bentuk buku cetak. Bukankah akan lebih elok jika buku ini dapat digenggam, dibalik, dilipat, bahkan dikoyak jadi pembungkus kacang?

Kenyataan memang mengatakan berbeda. Mba Anis Hidayatie menceritakan pengalamannya ketika mengikuti rapat komunitas dengan Kompasiana.

Menurut beliau yang mewakili komunitas KPB (Kompasianer Penulis Berbalas), seluruh peserta diminta untuk mencetuskan ide kerja komunitas. Kompasianer yang juga pegiat literasi ini lantas menelurkan ide tentang penerbitan buku cetak antalogi dari siapa pun Kompasianer yang ingin terlibat. Sebuah nyinyiran dari salah satu peserta cukup menyakitkan hati.

"Hari ini gak jaman bikin buku." Miris!

Menurut saya sih, buku itu tak tergantikan. Pada saat saya mengirimkan promosi 'segera tayang,' pada awal Desember 2020, ke beberapa grup Whatsapp, saya mendapat banyak permintaan melalui jalur pribadi.

"Koh Rudy, aku pesan satu ya." Demikian kira-kira isinya.

"Maaf pak, bu, buku ini tidak saya jual, karena akan dibagikan gratis dalam bentuk e-book," jawabku.

Tidak berhenti sampai di situ, yang bertanya kembali menelurkan ide, "Oh, andaikan aku mau buku aslinya, apa bisa ya?"

Dari sini saya tahu, meskipun e-book sudah mulai populer, tetap saja buku adalah buku. Sebagian orang masih merasa kurang nyaman membaca buku di gawainya. Sebagian lagi bahkan mungkin tidak menganggap gawai adalah buku bacaan.

Kompasianer Ruang Berbagi (Romo Bobby), bahkan 'menertawakanku' dengan mengatakan bahwa "para penulis udah ga doyan uang." Dari diskusi singkat bersama belau, timbullah ide mengenai judul artikel ini.

Saya butuh duit, apa daya bukan dari buku. Akan tetapi, saya juga tidak rugi-rugi banyaklah. Total biaya yang dikeluarkan hanya sekitar 1 jutaan rupiah. Digunakan untuk biaya desain, pengurusan ISBN dan HAKI.

Bayangkan jika buku ini harus dicetak. Misalkan dengan standar minimum penerbit, sebanyak 500 buku. Angka 5-7,5 juta rupiah tidak jauh dari kisaran. Biaya ini termasuk ongkos cetak, biaya cover, ISBN, editing dan layout, tetapi belum termasuk modal awal. Dimana saya harus membeli sendiri sebagian porsi buku yang jumlahnya tergantung dari hasil negosiasi dengan pihak penerbit. Naga-naganya akan habis sekitar 10 juta rupiah, minimum.

Royalti? Keuntungan? Lupakan, karena pada akhirnya saya dan Dr.Toni juga akan membagikan buku ini secara gratis. Kendati demikian, tetap saja, buku cetak akan lebih terasa hebatnya, andai saja saya mau mengeluarkan biaya yang tidak murah.

Kembali kepada pernyataan miris, "Hari ini gak jaman bikin buku."  Milenial dan post milenial menjadi biang kerok tuduhan bahwa buku cetak sudah akan punah. Ada empat fakta yang mendukung hal ini.

Pertama, zaman sudah berubah. Gawai sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Hampir tidak ada manusia yang tidak memiliki gawai saat ini.

Kedua, mudah diperoleh. Pada kenyataanya, e-book sangat mudah didapatkan di berbagai aplikasi gawai. Dengan harga yang murah, apalagi gratis, kamu bisa menyimpan seluruh buku di dunia dalam sebuah genggaman.

Ketiga, kemudahan dalam membaca. Menyimpan buku dalam tas akan terasa tidak praktis. Sementara gawai yang juga digunakan untuk bekerja dan bersosialisasi tidak akan pernah lepas dari genggaman. Di saat senggang, pada saat kita hendak membaca, maka sentuhan ada di jari Anda.

Keempat, praktis. Dengan tersambung di gawai, berbagai macam aplikasi pendukung seperti penanda buku digital, kamus on-line, hingga catatan elektronik, membuat membaca buku digital terasa sangat praktis untuk dilakukan bersamaan dengan pekerjaan lainnya.

Ini belum termasuk hambatan lainnya yang sering ditemukan pada buku cetak konvensional, seperti hilang, dipinjam teman, rusak, sobek, atau dijadikan pengganjal pintu oleh emak.

Bagaimanapun juga, bagi saya buku cetak tetap adalah yang terbaik. Tidak ada 'ritual' yang mampu memberikan ikatan emosi pada saat membaca e-book melalui gadget.  

Tidak ada bunyi pada saat lembaran kertas berganti halaman. Tidak ada bau kertas yang khas. Tidak ada pembatas buku indah yang sudah menemaniku selama 30 tahun. Ini belum termasuk susunan buku di rak yang jelas terlihat elok bersama.

Hal ini senada dengan penelitian yang dipimpin oleh Anne Mangen, yang dilansir di The Guardian pada tahun 2014. Menurutnya, buku digital tidak mendukung rekonstruksi mental dari sebuah cerita seperti yang bisa dilakukan pada buku cetak.

"Pada saat Anda membaca buku cetak, Anda dapat merasakan tumpukan halaman dengan jari Anda." Kata Anne Mangen.

Lebih lanjut, Anne juga mengatakan bahwa keterlibatan sensorik tertentu dapat mendukung sensasi visual dari pengalaman membaca buku. Sebagai contoh, buku cetak hadir dalam berbagai jenis ukuran. Tentu ini sudah melewati survei.

Novel fiksi biasanya memiliki ukuran yang sama, namun buku fotografi atau kuliner, biasanya berukuran lebih besar karena menonjolkan keindahan gambar. Bandingkan dengan buku digital yang semuanya berukuran sama dengan gadget kamu.

Penelitian lainnya lagi juga menonjolkan keunggulan buku cetak dibandingkan dengan buku digital. Jurnal Pediatrics menyebutkan bahwa buku cetak memiliki manfaat yang lebih besar bagi pertumbuhan anak. Penelitian ini melibatkan 37 orangtua dan balitanya, yang membaca tiga jenis buku, yaitu: buku cetak, e-book biasa, dan e-book dengan efek suara dan animasi.

Hasilnya, para orangtua mengaku bahwa lebih banyak keterlibatan saat membaca buku cetak bagi anak-anaknya, ketimbang e-book. Mereka juga mengaku mampu menyelesaikan lebih banyak cerita melalui buku cetak. Selain itu, balita juga lebih menunjukkan ikatan non verbal pada orangtua, dengan kehadiran buku cetak di samping mereka.

"Membaca buku bersama adalah salah satu kegiatan perkembangan terpenting yang dapat dilakukan keluarga," kata Dr. Tiffany Munzer, ketua penelitian.

Namun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa perkembangan zaman sudah takbisa dicegah. Bahwa era digital akan datang menggantikan, hanyalah masalah waktu. Setiap jenis buku memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Sangat tergantung kepada siapakah diri Anda.

Jika kamu adalah seorang dengan mobilitas tinggi, maka jelas e-book adalah pilihan. Jika Anda termasuk tipe konvensional yang memandang buku bacaan sebagai sebuah rangkaian ritual, maka jelas buku cetak adalah pilihan.

Kendati demikian, tetap saja kita bisa memilih kedua opsi ini secara bebas. Tidak ada dua kutub yang benar-benar berbeda. Kamu bisa memiliki dua jenis buku sesuai dengan keinginan.

Begitu pula dengan diriku. Setelah peluncuran buku digital ini, kami akan hadir dalam bentuk buku cetak. Semoga dalam waktu dekat.

Foto Dr. Toni Yoyo dan Rudy Gunawan (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Foto Dr. Toni Yoyo dan Rudy Gunawan (sumber: dokpri - instagram: numerology_rights)
Bagi Kompasianer yang menginginkan buku digital "Pengaruh Hukum Karma dan Angka Terhadap Kehidupan Manusia," sila menghubungi akun Kompasiana KPB (Kompasianer Penulis Berbalas) pada link ini (klik di sini).

Semoga hari-harimu menyenangkan dan semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang besar. Oh ya, harap bersabar ya. Buku ini baru resmi diluncurkan pada tanggal 2 Januari 2021 nanti.

Mengapa harus tanggal tersebut? Hitungan Numerologi, Saudara-saudara!

Referensi: 1 2 3

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun