jujur ada sedikit kekecewaan, sebabnya buku ini tidak diterbitkan dalam bentuk buku cetak. Bukankah akan lebih elok jika buku ini dapat digenggam, dibalik, dilipat, bahkan dikoyak jadi pembungkus kacang?
Kenyataan memang mengatakan berbeda. Mba Anis Hidayatie menceritakan pengalamannya ketika mengikuti rapat komunitas dengan Kompasiana.
Menurut beliau yang mewakili komunitas KPB (Kompasianer Penulis Berbalas), seluruh peserta diminta untuk mencetuskan ide kerja komunitas. Kompasianer yang juga pegiat literasi ini lantas menelurkan ide tentang penerbitan buku cetak antalogi dari siapa pun Kompasianer yang ingin terlibat. Sebuah nyinyiran dari salah satu peserta cukup menyakitkan hati.
"Hari ini gak jaman bikin buku." Miris!
Menurut saya sih, buku itu tak tergantikan. Pada saat saya mengirimkan promosi 'segera tayang,' pada awal Desember 2020, ke beberapa grup Whatsapp, saya mendapat banyak permintaan melalui jalur pribadi.
"Koh Rudy, aku pesan satu ya." Demikian kira-kira isinya.
"Maaf pak, bu, buku ini tidak saya jual, karena akan dibagikan gratis dalam bentuk e-book," jawabku.
Tidak berhenti sampai di situ, yang bertanya kembali menelurkan ide, "Oh, andaikan aku mau buku aslinya, apa bisa ya?"
Dari sini saya tahu, meskipun e-book sudah mulai populer, tetap saja buku adalah buku. Sebagian orang masih merasa kurang nyaman membaca buku di gawainya. Sebagian lagi bahkan mungkin tidak menganggap gawai adalah buku bacaan.
Kompasianer Ruang Berbagi (Romo Bobby), bahkan 'menertawakanku'Â dengan mengatakan bahwa "para penulis udah ga doyan uang." Dari diskusi singkat bersama belau, timbullah ide mengenai judul artikel ini.
Saya butuh duit, apa daya bukan dari buku. Akan tetapi, saya juga tidak rugi-rugi banyaklah. Total biaya yang dikeluarkan hanya sekitar 1 jutaan rupiah. Digunakan untuk biaya desain, pengurusan ISBN dan HAKI.