Nah, di sini terjadilah titik balik dalam perjuangannya. Ia sangat kecewa ketika usulannya ditolak oleh para koleganya, yaitu "keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia otomatis mendapatkan status Warga Negara Indonesia."Â Ia kemudian mengundurkan diri dari kepanitiaan dengan penuh rasa frustasi. Â
Rekan sejawatnya AR. Baswedan juga mengalami hal yang sama, meskipun ia pernah menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan masa kabinet Syahrir, dan anggota dewan, ia tetap dipersulit mengurus surat-suratnya.
Kabar mengenai dirinya sempat naik pitam ketika seorang pegawai kantor pos di Yogya menanyakan surat kewarganegaraanya, padahal jelas-jelas ia sudah menyodorkan kartu anggota DPR. Setelah mengamuk, akhirnya surat itu keluar juga dengan tulisan "Warga Indonesia Keturunan Arab."
Baik Liem maupun Baswedan sama-sama mengalami problema klasik dari negara ini. Akan tetapi mereka menempuhnya dengan cara berbeda. Liem yang temperamental serta-merta mengambil jalan keras, sementara Baswedan yang lebih sabar dengan tetap berada pada jalur perjuangan untuk mendapat hak kewarganegaraanya.
Setelah Indonesia merdeka, Liem bahkan pernah dijebloskan ke penjara tanpa diadili. Kala itu, ketika Perdana Menteri Soekiman melakukan razia, ia dituduh sebagai simpatisan komunis dan dijebloskan ke Cipinang pada tanggal 16 Agustus 1951 hingga 29 Oktober 1951. Itupun karena kondisinya yang sakit-sakitan.
Karena kecewa berat dan ditambah lagi teman seperjuangannya di PTI diperlakukan dengan tidak adil, Liem akhirnya memutuskan sebagai martir. Saat hari kemerdekaan Republik Rayat China, ia mengibarkan bendera RRC di depan rumahnya. Sontak kejadian ini bikin heboh.
Akan tetapi, Liem melakukannya sendiri dan meminta agar teman-teman seperjuangan yang lain tidak mengikutinya. Liem wafat kurang lebih setahun kemudian pada tanggal 4 November 1952.
Menurut Didi Kwartanada, jejak perjuangan Liem Koen Hian hilang bak ditelan bumi. Namanya tidak tercatat sebagai anggota BPUPKI dalam Sejarah Nasional Indonesia I. Yang tertulis hanyalah empat golongan China dan empat golongan Arab.
Hingga kini, Sejarah Nasional Indonesia Edisi ke-VI terbit di tahun 2012. Nama Liem pun masih tidak muncul, begitu pula pencantuman golongan Tionghoa yang hilang sejak Sejarah Nasional Indonesia edisi IIÂ diterbitkan.
Didi Kwartanada bersama Taufiq Tanasaldi telah mengajukan perubahan kepada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RIÂ saat ini, Hilmar Farid. Entah bagaimana kelanjutannya, penulis kurang mendapatkan informasi.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi apalagi dibuat atas dasar kekecewaan. Sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa dirubah. Memang mencerminkan fakta masa lalu, namun tidak lagi merefleksikan kondisi saat ini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!