Langkah konkrit adalah Lockdown. Hal yang dilakukan pertama kali di Wuhan, China, adalah contoh terbaik bagi banyak negara dari kota yang menjadi episentrum pertama virus covid-19 ini.
Lockdown masif di berbagai belahan dunia pada periode Maret-Mei 2020 lalu menimbulkan masalah baru. Fenomena yang disebutkan sebagai The Great Lockdwon oleh IMF ini adalah tanda-tanda mulai menurunnya kegiatan ekonomi. Jutaan orang terkunkung, ratusan pabrik ditutup, ribuan perusahaan tidak beroperasi, PHK massal terjadi, pendapatan menurun, dan pengeluaran bertambah.
Seiring waktu berjalan, masyarakat sudah semakin sadar bahwa menghindari virus atau mengharapkan obat dan vaksin, sudah tidak lagi terlalu penting. Masyarakat mulai gerah kemudian kembali beraktivitas.
Pemerintah menjalankan kebijakan dengan berusaha mengadopsi dua hal yang saling bertentangan. Harapan untuk kembali bekerja di lingkungan sehat, tidak akan terjadi sebelum adanya vaksin yang mumpuni.
Akan tetapi, kontraksi ekonomi selama masa pandemi awal masih memiliki efek domino hingga kini. Disrupsi rantai suplai dan anjloknya permintaan akibat krisis tidak dapat dihindari. PHK yang merajalela sudah membuat lapangan kerja semakin sulit.
Organisasi Buruh Internasional (ILO)Â PBB memperkirakan ratusan juta pengangguran akan terjadi sepanjang tahun. Usia produktif kehilangan pekerjaan, dan tingkat kemiskinan diramal akan menyentuh 9 digit.
Para pedagang kehilangan modal akibat berhentinya aktivitas. Tabungan habis terkuras akibat tidak adanya uang segar untuk memutar usaha. Sementara biaya hidup dan cicilan hutang harus tetap terbayar.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan memprediksi volume perdagangan akan turun pada angka 13 hingga 32% pada tahun ini.
"Jadi kalau ekonomi global masih jadi bulan-bulanan Covid-19 bukan tak mungkin akan ada negara yang benar-benar jatuh ke jurang depresi." Ujar David Malpass, bos Bank Dunia.
Apakah Indonesia akan Menghadapi Depresi?
Segala kemungkinan ada, namun karena banyaknya variabel penyokong, maka depresi akan menjadi sangat sulit diprediksi.
Selain itu, depresi juga harus terlihat dari kacamata masyarakat. Masalahnya adalah Indonesia ini terlalu luas, sehingga krisis yang terjadi akan dirasakan berbeda oleh warga Jakarta dan masyarakat di Papua.