Rasanya resesi bisa menjadi pelipur lara bagi yang sedang kekurangan. Ia juga bisa menjadi alasan kepada para kaum rebahan. Namun, dapat juga menjadi ancaman kepada yang lagi butuh uang.
Baru-baru ini Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani telah mengumumkan bahwa Indonesia telah resmi memasuki masa resesi. Indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi yang minus dua kuartal berturut-turut.
Belum dapat diterka sejauh mana dampak resesi ini dalam kehidupan sehari-hari, namun kata yang didengungkan sudah cukup membuat diri was-was.
Sebuah telpon dari seorang sohib lama, Deyong dari Bali, kepada penulis.
"Resesi mah biasa, hal yang cukup umum terjadi, ditambah lagi di masa covid ini, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami resesi, kok!" ujarnya dari seberang sana.
Gambaran Resesi Secara Umum
Pemahaman resesi adalah pada saat adanya indikasi penurunan yang signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam beberapa bulan (umumnya 3 bulan). Sejumlah indikator yang biasa digunakan adalah;
Penurunan PDB, merosotnya pendapatan riil, jumlah lapangan kerja, penjualan ritel, dan terpuruknya industri manufaktur.
Kelihatannya memang mengerikan, namun indikator tidak akan mencerminkan keadaan individu bagi setiap orang. Di masa resesi, ada saja yang masih bisa menghasilkan uang yang banyak, sementara meskipun ekonomi sedang bagus-bagusnya, ada juga orang yang kehilangan mata pencaharian dan hidup melarat.
Dengan demikian, teori ekonomi mengenai resesi hanyalah sebuah indikator bahwa negara kita tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja, dan memerlukan kewaspadaan dan empati dari seluruh rakyat.
Lantas apa saja yang dilakukan oleh pemerintah untuk menstabilkan indikator yang sedang "tidak baik-baik saja"Â ini? Banyak, bantuan sosial, bantuan pra-kerja, bantuan ekonomi bagi pelaku UMKM, hingga kepada insentif pajak bagi yang membutuhkan.
Semuanya dilakukan dengan harapan agar tidak terjadi chaos karena krisis berkepanjangan oleh seluruh rakyat secara merata.