Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

RA Kardinah, Penerus Perjuangan Kartini yang Berakhir sebagai Korban Revolusi

2 November 2020   20:02 Diperbarui: 2 November 2020   20:07 1588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Sakit Kardinah (sumber: tribunnews.com)

"Saya tidak akan hidup lama, pada usia 25 tahun saya sudah akan mati. Meskipun saya mati, saya tidak mati. Saya terbang ke bulan."

R.A. Kartini pernah meramalkan bahwa hidupnya tidak akan melewati usia 25 tahun, dan insting kuat darinya juga mengatakan bahwa perjuangannya akan diteruskan oleh adiknya yang akan berumur panjang.

"Dik Kardinah nanti yang akan meneruskan idam-idaman saya."

R.A. Kardinah Reksonegoro, namanya. Tidak banyak yang diketahui oleh publik, sebagaimana kartini-kartini lainnya yang tidak banyak terungkap. Namun sepanjang sejarah, ia telah berjuang demi emansipasi dan kecerdasan bangsa.

Pesan ini disampaikan oleh Kartini sebelum ia dan sang adik berpisah rumah pada tahun 1904, karena dipinang. Ucapannya terbukti benar, pada tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir, pada usia 25 tahun. Hingga kini, belum diketahui apa penyebab kematiannya.

**

Seorang lelaki datang ke Kadipaten, sangkar emas bagi Kartini dan adik-adiknya untuk berbagi suka dan duka. Ia adalah Raden Mas Haryono, putra dari Bupati Tegal, Pangeran Ario Reksonegoro. Ia adalah seorang pejabat Patih Kadipaten Malang. Pernikahan Kardinah dengan lelaki beranak tiga itu terjadi pada 24 Januari 1902.

Kartini sempat bertemu lagi dengan Kardinah pada saat mengunjungi kakak mereka, Soelastri. Saat itu Kardinah telah menghabiskan waktu dengan membangun sekolahnya sendiri. Sebuah perjuangan yang pernah ia impikan bersama Kartini dan Rukmini, yang mereka sebut sebagai cita-cita Het Klaverblad, atau julukan bagi Tiga Saudara dari Nyonya Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara.

Kepekaan sosial Kartini dan saudarinya memang ditularkan oleh ayahnya. Di saat mereka kecil, sang ayah sering membawa mereka meninjau tempat-tempat penderitaan rakyat. Semuanya dimaksudkan agar para putrinya memahami susahnya hidup dalam kemelaratan.

Kehidupan pernikahannya tidak membuatnya menjadi wanita yang terpasung. Seluruh usahanya ke arah modernisasi, mendapat dukungan penuh dari suaminya. Ditambah lagi statusnya yang cukup tinggi di masyarakat Jawa kala itu sebagai nyonya Bupati Tegal. Ia yakin posisi sosialnya memiliki tanggung jawab untuk memberi perbaikan kepada masyarakat.

**

Pendidikan menjadi sorot utamanya, khususnya bagi kaum wanita. Ia tak puas dengan model kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pola pendidikan kaum bumiputera, yang hanya memberikan akses terbatas kepada anak bangsawan saja.

"Berapa banyak anak bangsa kami, saya bertanya pada diri sendiri, yang mampu untuk belajar di sekolah-sekolah seperti itu? Lebih lanjut, apakah itu adil? Atau adakah yang seharusnya menjadi contoh bisa membantu masyarakat pribumi untuk maju?"

Ini adalah salah satu bentuk pemikiran Kardinah yang dituangkan dalam sebuah surat kepada nyonya Abendanon, tanggal 15 Juli 1911, sebagaimana dimuat dalam Surat-surat Adik R.A. Kartini karya Frits G.P. Jaquet.

Model Pendidikan yang diadopsi oleh Kardinah, adalah yang digariskan Kartini; 

"Ibu menjadi pusat kehidupan rumah tangga, oleh sebab itu tak ada yang lebih baik dari seorang ibu yang tercerdaskan."

**

Kardinah mengumpulkan dana secara kolektif dari membuka sekolah kecil-kecilan bagi para anak priayi di rumahnya.  Ia juga menulis dua buku soal masakan dan dua buku lagi mengenai batik. Banyak yang mendukungnya, termasuk tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang banyak membeikannya masukan mengenai pendidikan.

Sumbangan kolektif dan dana dari hasil penjualan buku kemudian digunakan untuk membuka Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo (WP) pada tanggal 1 Maret 1916. Biaya operasional sekolah ditanggung masyarakat yang mampu. Segala keperluan sekolah diberikan secara cuma-cuma, dan tiap murid dikenakan biaya uang sekolah yang sangat murah. 

Mata pelajaran di WP antara lain adalah bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan budaya Jawa, P3K, membatik, pendidikan watak, dan mengaji Al'quran. Kardinah ikut mengajar di sekolah tersebut, dan begitu juga Ki Hadjar Dewantara.

Pada tahun 1924, sekolah tersebut sudah bisa menampung sekitar 200 murid. Banyak pihak yang tertarik dengan model yang diterapkan Kardinah, termasuk salah satunya adalah tokoh emansipasi dari Jawa Barat, Dewi Sartika. Mereka tidak hanya berkunjung, namun juga ikut mengajar selama 4 bulan.

Terakhir setelah Kardinah sakit dan harus beristirahat atas saran dokter pribadinya, WP mengalami kemunduran. Kepengurusan sekolah itu akhirnya diambil alih oleh pemerintah dan dijadikan Kopschool atau sekolah kejuruan bagi kaum perempuan pertama di Indonesia, pada bulan Oktober 1924.

**

Selain sekolah, Kardinah juga membangun sebuah rumah sakit kecil. Belakangan, rumah sakit tersebut dikenal dengan nama Kardinah Ziekenhuis, atau Rumah Sakit Kardinah.

Rumah Sakit Kardinah (sumber: tribunnews.com)
Rumah Sakit Kardinah (sumber: tribunnews.com)

Hal ini ia lakukan karena prihatin dengan kondisi rakyat Tegal yang sakit dan tidak didukung oleh fasilitas Kesehatan yang memadai. Khususnya murid-murid perempuannya yang hanya bergelar tikar dan tanpa dukungan tenaga medis pada saat melahirkan. Di saat yang sama ia juga merombak pandangan masyarakat khususnya bagi mereka yang masih menggantungkan kesehatan terhadap hal-hal berbau klenik.

**

Ia banyak memberikan banyak bantuan kepada rumah penampungan orang miskin. Ia juga banyak membantu pengrajin perak yang bekerja dengan gaji yang sangat rendah di daerah pecinan. Bukan hanya itu, Kardinah juga mengajarkan para pengrajin ini untuk menabung uang ke bank, sehingga kesadaran masyarakat terhadap perbankan dan menabung menjadi jauh lebih besar.

Atas usahanya ini, Kerajaan Belanda memberi bintang Ridder van Oranje Nassau, kepadanya. Ia adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah Belanda. Setelahnya Dr. Tjipto Mangunkusumo juga pernah dianugrahkan penghargaan yang sama atas jasanya menangani wabah pes di Jawa.

**

Suaminya, Raden Mas Haryono menjabat sebagai bupati Tegal hingga tahun 1930, dan mengundurkan diri setelah sakit-sakitan. Pada tahun 1945, salah satu putrinya menikah dengan Raden Sunarjo yang menggantikan Haryono sebagai Bupati Tegal.

Kala itu Revolusi Indonesia mulai bergolak, dan beberapa daerah di Indonesia mengalami masa kekosongan kekuasaan. Sekelompok gerombolan yang sakit hati atas kolonialisme dan kekuasan kaum feodalis yang dianggap sebagai sekutu penjajah, kemudian mulai membalas dendam.

Kejadian ini terjadi di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dikenal sebagai Revolusi Tiga Darah. Kaum priayi, termasuk keluarga bupati menjadi sasaran. Sekitar bulan Oktober 1945, Kardinah yang kebetulan tinggal di Kadipaten kemudian menjadi korban amuk massa.

Sekawanan massa meringsek masuk ke Kadipaten. Alih-alih menangkap Bupati Sunarjo, mereka malah menjadikan keluarganya sebagai bulan-bulanan. Kardinah yang kala itu sudah berusia 64 tahun, beserta anaknya yang merupakan istri Bupati, cucu perempuannya, dan para pembantunya diberi pakaian goni, diarak-arak keliling kota dan diancam akan dibunuh. Ironisnya rombongan itu berhenti di hadapan Rumah Sakit Kardinah.

Setelah itu, ada dua versi cerita. Yang pertama mengatakan Kardinah pura-pura sakit dan diselamatkan oleh orang-orang yang simpatik. Ada juga versi yang mengatakan bahwa Kardinah beserta rombongan dibawa dengan sebuah truk ke Talang dan ditahan di rumah Wedana Adiwerna selama seminggu, hingga diselamatkan oleh para priayi Pekalongan dan Tentara Keamanan Rakyat.

Yang pasti setelah kejadian itu, Kardinah beserta keluarganya pindah ke Salatiga dan menjadi trauma dengan setiap memori ataupun kata yang berhubungan dengan Tegal. Hingga akhirnya pada tahun 1970, Sumiati Sardjoe, istri walikota Tegal pada saat itu, mengundangnya ke Tegal.

Awalnya undangan tersebut ditolak oleh Kardinah. Ia masih trauma dengan keadaan yang pernah ia terima di tahun 1945 lalu. Namun akhirnya dengan berbagai usaha, Kardinah pun menginjakkan kembali kakinya ke Tegal pada tahun 1970.

Dalam kunjungannya ke Tegal, Kardinah menyempatkan diri berziarah ke makam suaminya, dan tepat setahun, persisnya pada tanggal 5 Juli 1971, Kardinah menhembuskan nafasnya yang terakhir di usia 90 tahun. Ia dimakamkan di Tegalarum, Tegal, di samping kuburan suaminya.

Kuburan Kardinah (sumber: wisatategal.com)
Kuburan Kardinah (sumber: wisatategal.com)
**

Meskipun perjuangannya dalam melanjutkan cita-cita Kartini tidaklah sedikit, R.A. Kardinah masih berada di bawah bayang-bayang dari Kartini. Selain Rumah Sakit Tegal yang menggunakan namanya, hampir tidak ada lagi monumen yang mencatat sejarahnya. Namanya bahkan tak pernah disinggung dalam buku sejarah, kecuali sebagai adik R.A. Kartini.

Konon salah satu penyebabnya adalah karena Kardinah tidak seerat Kartini dalam hubungannya dengan Nyonya Abendanon, atau Nyonya Ovink-soer yang membesarkan nama Kartini melalui surat-suratnya.

Satu pertanyaan menarik, haruskah sebuah ketenaran dan kemashyuran bangsa ditentukan oleh publikasi dari bangsa asing? Haruskah kita menghargai para pahlawan karena nama mereka tercatat di Belanda?

Untungnya pada tahun 1969, pemerintah Indonesia memberikan dirinya penghargaan berupa Saytalencana Kebaktian Sosial. Bangsa yang baik adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa para pahlawannya.

Foto masa tua Kardinah (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Foto masa tua Kardinah (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun