Kejadian ini terjadi di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dikenal sebagai Revolusi Tiga Darah. Kaum priayi, termasuk keluarga bupati menjadi sasaran. Sekitar bulan Oktober 1945, Kardinah yang kebetulan tinggal di Kadipaten kemudian menjadi korban amuk massa.
Sekawanan massa meringsek masuk ke Kadipaten. Alih-alih menangkap Bupati Sunarjo, mereka malah menjadikan keluarganya sebagai bulan-bulanan. Kardinah yang kala itu sudah berusia 64 tahun, beserta anaknya yang merupakan istri Bupati, cucu perempuannya, dan para pembantunya diberi pakaian goni, diarak-arak keliling kota dan diancam akan dibunuh. Ironisnya rombongan itu berhenti di hadapan Rumah Sakit Kardinah.
Setelah itu, ada dua versi cerita. Yang pertama mengatakan Kardinah pura-pura sakit dan diselamatkan oleh orang-orang yang simpatik. Ada juga versi yang mengatakan bahwa Kardinah beserta rombongan dibawa dengan sebuah truk ke Talang dan ditahan di rumah Wedana Adiwerna selama seminggu, hingga diselamatkan oleh para priayi Pekalongan dan Tentara Keamanan Rakyat.
Yang pasti setelah kejadian itu, Kardinah beserta keluarganya pindah ke Salatiga dan menjadi trauma dengan setiap memori ataupun kata yang berhubungan dengan Tegal. Hingga akhirnya pada tahun 1970, Sumiati Sardjoe, istri walikota Tegal pada saat itu, mengundangnya ke Tegal.
Awalnya undangan tersebut ditolak oleh Kardinah. Ia masih trauma dengan keadaan yang pernah ia terima di tahun 1945 lalu. Namun akhirnya dengan berbagai usaha, Kardinah pun menginjakkan kembali kakinya ke Tegal pada tahun 1970.
Dalam kunjungannya ke Tegal, Kardinah menyempatkan diri berziarah ke makam suaminya, dan tepat setahun, persisnya pada tanggal 5 Juli 1971, Kardinah menhembuskan nafasnya yang terakhir di usia 90 tahun. Ia dimakamkan di Tegalarum, Tegal, di samping kuburan suaminya.
Meskipun perjuangannya dalam melanjutkan cita-cita Kartini tidaklah sedikit, R.A. Kardinah masih berada di bawah bayang-bayang dari Kartini. Selain Rumah Sakit Tegal yang menggunakan namanya, hampir tidak ada lagi monumen yang mencatat sejarahnya. Namanya bahkan tak pernah disinggung dalam buku sejarah, kecuali sebagai adik R.A. Kartini.
Konon salah satu penyebabnya adalah karena Kardinah tidak seerat Kartini dalam hubungannya dengan Nyonya Abendanon, atau Nyonya Ovink-soer yang membesarkan nama Kartini melalui surat-suratnya.
Satu pertanyaan menarik, haruskah sebuah ketenaran dan kemashyuran bangsa ditentukan oleh publikasi dari bangsa asing? Haruskah kita menghargai para pahlawan karena nama mereka tercatat di Belanda?
Untungnya pada tahun 1969, pemerintah Indonesia memberikan dirinya penghargaan berupa Saytalencana Kebaktian Sosial. Bangsa yang baik adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa para pahlawannya.