Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Perjalanan ke Barat, Naskah Asli Tanpa Sang Kera Sakti

9 Oktober 2020   12:02 Diperbarui: 27 Mei 2021   14:10 5277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah "Journey to The West" (Perjalanan ke Barat), mungkin kurang terkenal dibandingkan dengan tokoh utamanya. Siapa lagi kalau bukan si Kera Sakti, Sun Go Kong.

Meskipun sudah diciptakan sejak ratusan tahun lalu, karya sastra ini masih bertahan hingga saat ini dan mengalami banyak tambahan cerita yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Salah satu yang membuat kisah ini populer, karena keberadaan 4 tokoh dalam cerita, yaitu Biksu Tong Sam Chong, Sun Go Kong (kera sakti), Cu Pat Kay (siluman babi), dan Wu Ching (Siluman Air).

Tapi tahukah kamu, jika kisah ini diangkat dari sejarah asli perjalanan Biksu Tong ke barat? Iya betul, kecuali kehadiran dari ketiga tokoh siluman yang mengawali perjalanannya.

Kisah Kera Sakti ini diadaptasi dari novel Perjalanan Ke Barat yang diilhami dari catatan perjalanan Pendeta Xuangzang dari Chang Ang, China, ke daerah Barat, India.

Novel ni ditulis pada zaman Dinasti Ming, sekitar pertengahan abad ke-16. Disebutkan bahwa karya klasik ini termasuk empat karya sastra klasik Tiongkok terbesar sepanjang masa.

Tiga karya lainnya adalah Roman Tiga Kerajaan (Romance of Three Kingdoms), Tepi Air atau Sui Hu Cuang (yang mengisahkan mengenai 108 pendekar Gunung Liang-shang), dan Impian Paviliun Merah.

Baca juga: Belajar dari Film Kera Sakti

Mengenal Biksu Tong

Ia adalah seorang biksu ternama yang lahir di Luoyang, Henan, Tiongkok, tahun 602 M. Ia berasal dari keluarga cendekiawan terpandang, dan sejak kecil telah menunjukkan minat dan kepintarannya terhadap agama Buddha.

Keinginannya ini tidak bertepuk sebelah tangan dan mendapat dukungan dari keluarga, hingga ia ditahbiskan menjadi Biksu dalam usia 20 tahun. Selama 5 tahun pertama, ia mengenyam pendidikan agama Buddha di kuil kota kelahirannya.

Akan tetapi pada tahun 618, Dinasti Sui runtuh dan meninggalkan kekacauan dimana-mana. Biksu Tong akhirnya melarikan diri ke Chang An dan menghabiskan 3 tahun untuk memperdalam ilmunya di biara Kong Hui.

Perjalanan ke India

Perjalanan Biksu Tong menuju ke Barat, dilandasi dengan rasa tidak puasnya atas apa yang sudah dipelajari selama ini. India menjadi pilihan, karena disanalah sumber kelahiran Sang Buddha.

Sayangnya, keinginannya ini tidak direstui oleh pemerintahan Dinasti Tang, hingga ia terpaksa melakukan perjalanan tidak resmi dengan cara melarikan diri dari wilayah kerajaan pada tahun 629, sekaligus menandai awal dari perjalanan bersejarahnya ini.

Perjalanannya tidaklah mulus, tanpa surat jalan resmi sama seperti ia adalah pelarian tanpa negara. Beberapa negara yang disinggahi kemudian bersedia memberikannya kewarganegaraan, dengan catatan Biksu Tong harus menetap di negerinya. Namun, semuanya ditolak dengan halus.

Pada saat ia tiba di Turfan, raja yang menganut agama Buddha, kemudian mendukung perjalanan Biksu Tong dengan menghadiahkannya dengan empat biksu dan 25 orang pengawal untuk menemani perjalanan sang Biksu.

Tiba di India

Meskipun melewati alam pengunungan dan gerombolan perampok yang menyebabkan banyaknya kematian dalam rombongannya, Biksu Tong tidak putus asa dan tiba di India pada tahun 632.

Sepanjang perjalanan, ia banyak mengunjungi situs-situs Buddha dan bertukar pikiran dengan biksu-biksu lokal.

Pada tahun 635 atau 637, Biksu Tong sampai di tujuan utamanya, yaitu Biara Nalanda, atau juga dikenal sebagai Pusat Studi Agama Buddha terbesar di zamannya.

Di tempat inilah, Biksu Tong menghabiskan beberapa tahun untuk memperdalam agama Buddha dan belajar dari pemikir dan guru besar, salah satunya adalah Silabhadra.

Ilmu yang diperdalam selain agama Buddha, adalah logika dan bahasa Sansekerta. Namun, Biksu Tong mencapai pengakuan tertinggi dengan menjadi orang kesepuluh yang dapat menghafal 50 naskah suci Buddha.

Selain itu, ia juga menorah prestasi besar lainnya, dengan mengalahkan ratusan cendekiawan agama dalam debat spiritual.

Atas prestasinya ini, ia kemudian mendapat gelar Sam Chong, atau yang kesepuluh. Namun, ada juga versi yang berbeda yang mengatakan bahwa gelar Sam Chong adalah pemberian dari Kaisar Tang, setelah ia kembali ke China.

Kembali ke China

Setelah melalui perjalanan yang sama beratnya dengan kedatangan, Biksu Tong akhirnya tiba kembali di China pada tahun 644. Banyak yang menyambutnya, dan Kaisar yang telah mendengar kabarnya pun akhirnya memaafkan tindakan pembangkangan yang pernah dilakukan oleh Biksu Tong.

Kaisar mengadakan perjamuan makan yang besar dan menawarkan posisi kepada Biksu Tong sebagai salah satu penasehat kerajaan.

Akan tetapi, Biksu Tong menolak dengan halus, namun menjanjikan untuk menulis kondisi budaya, ekonomi, politik dari seluruh negeri yang disinggahinya selama perjalanan ke Barat.   

Baca juga: Meriahnya Drama Teater Kera Sakti Jepang di Taman Budaya Yogyakarta (TBY)

Catatan ini kemudian menjadi asal muasal dari lahirnya buku legendaris Catatan Perjalanan ke Barat atau Catatan Tang Agung mengenai Xiyu, yang ditulis dengan sangat detail, lengkap, dengan gaya cerita yang mengalun indah.

Sisa hidup Biksu Tong kemudian didedikasikan untuk menerjemahkan naskah suci Buddha dari India ke dalam bahasa Tiongkok Kuno, yang sekaligus menjadi naskah asli pertama dalam bahasa asing.

Total ada 73 naskah dalam 1335 volume penerjemahan oleh Biksu Tong dan tim yang disediakan oleh Kaisar Tang. Biksu Tong menghembuskan nafas terakhir pada tahun 664.  

Kisah Kera Sakti

Kelahiran Trio Siluman, Sun Go Kong, Cu Pat Kay, dan Wu Ching, muncul setelah seorang penulis novel bernama Wu Cheng En (1500-1582) dari zaman Dinasti Ming menuliskan novel dengan judul "Ta Tang His Yu Chi" (catatan perjanan ke barat).

Novel ini terdiri dari 100 bab yang dibagi dalam tiga bagian utama.

Bagian pertama terdiri dari 7 bab yang menceritakan kelahiran Sun Go Kong, hingga mengacaukan kayangan dan mendapatkan hukuman terkurung di dalam Wu Hsing Shan (gunung lima unsur) oleh Buddha Sakyamuni sambil menunggu pembebasannya oleh seorang Biksu yang akan melakukan perjalanan ke Barat.

Bagian kedua terdiri dari 5 bab dan menuliskan sejarah Biksu Tong dan tugas dan perjalanannya ke Barat.

Bagian ketiga terdiri dari 88 bab, yang mengisahkan keseluruhan perjalanan Biksu Tong dan ketiga murid silumannya.

Mungkin banyak yang tidak mengerti, bahwa novel yang diciptakan oleh Wu Cheng En ini, tidak saja mengandung kisah yang menghibur, namun juga mengandung makna ajaran filsafat agama Buddha Dhamma yang dituliskan dengan sangat dalam.

Kisah perjalanan secara umum mewakili kehidupan manusia dalam mengarungi perjalanan hidup yang penuh penderitaan (Dhukkha). Ada Tiga Akar Kejahatan manusia yang diwakili oleh masing-masing siluman.

Baca juga: Lobha, Moha, dan Dosa, Tiga Akar Kejahatan yang Dapat Ditumpas dengan Kekinian

Cu Pat Kay, Sang Siluman Babi yang senang berhura-hura mewakili Lobha atau Ketamakan

Defenisi lobha dalam hal ini adalah menginginkan barang orang lain, atau yang lebih sederhana lagi adalah tidak puas dengan apa yang dimiliki. Sikap lobha dapat bermanifestasi dalam bentuk mencari kesenangan atau kepuasan indrawi tanpa henti, hingga keinginannya terpenuhi.

Namun sayangnya rasa puas tidak pernah akan berakhir, sehingga lobha akan beraktualisasi dalam bentuk kemelekatan. Nah, kemelekatan akan bekerja dengan sangat halus, sehingga kitapun kadang tidak menyadarinya.

Kenangan indah dengan sang mantan, kerinduan terhadap masa muda yang ceria, keinginan untuk tetap cantik dan tampan, hingga kesenangan terhadap kebiasaan hidup tertentu, adalah bentuk kemelakatan yang membuat manusia terus mengejar kesenangan jasmani.

Wu Ching, Sang Siluman Air yang terkesan malas, lamban, dan masa bodoh mewakili Moha atau Kebodohan Batin

Pengertian bodoh di sini tidak ada hubungannya dengan kemampuan akademik, tapi kebodohan batin yang tidak bisa membedakan perbuatan baik atau perbuatan jahat.

Efek dari kebodohan batin adalah melihat kejahatan sebagai hal yang wajar dilakukan. Jika manusia terikat moha, maka ia akan menganggap perbuatan jahat sebagai suatu kebiasaan.

Ia akan cenderung cuek dengan keadaan, tidak suka membantu, menyuburkan sifat egois, memaklumi gengsi, mengidolakan kesombongan, hingga bersikap munafik.

Baca juga: Naskah Pegon Jawa Tertua Ditemukan, Dibuat di Era Majapahit Tahun 1347, Apa Isinya?

Sun Go Kong, Sang Kera Sakti yang nakal, sombong, dan keras kepala mewakili Dosa atau Kebencian

Pemahaman kebencian disini adalah sikap yang tidak suka terhadap seseorang, sesuatu, bahkan termasuk diri sendiri. Tidak saja hanya dalam bentuk dendam kesumat dan luapan emosi, namun juga dalam bentuk penolakan-penolakan lainnya yang lebih halus.

Sikap kebencian ini, jika tidak disadari akan membuat manusia lumrah terhadap penolakan, sehingga ketakutan, rasa cemas, kegelisahan atas hal yang tidak disenangi akan terus menghampiri.

Lebih jauh lagi, sikap penolakan akibat kebencian akan menimbulkan sakit hati terhadap kegagalan diri sendiri dan iri hati, cemburu, sirik, atas keberhasilan orang lain.

Dalam kisah tersebut, disebutkan juga jika Sang Kera Sakti mulai menjadi liar, dan tidak terkontrol, maka Biksu Tong akan membacakan mantra pemberian Dewi Kuan-yin (Avaloekitsevara Bodhisattva) yang tidak lain, tidak bukan mewakili Metta atau Kasih Sayang tidak terhingga.

Sementara Biksu Tong sendiri mewakili kesadaran akan hukum alam bahwa segala sesuatu akan berakibat, yang juga bisa mewakili Hukum Karma.

Tidak lupa juga jubah sakti yang dikenakan oleh Biksu Tong yang mampu memberikan perlindungan luar biasa selama perjalanan, ternyata melambangkan kesucian.

Hal ini bermakna bahwa jika manusia mampu menjaga pikiran, ucapan, dan tindakannya, maka hal tersebut akan melindungi dirinya dari segala marabahaya.

Wasana Kata

Kelebihan dari sastra kuno yang bisa bertahan hingga kini, adalah relevansinya dengan kehidupan yang terus mengalami perubahan.

Semuanya menggambarkan bagaimana para moyang kita memaknai nilai kehidupan yang tinggi, yang dapat diwariskan dalam bentuk pengetahuan bersama secara umum.

Manusia dalam perjalanan sejarah yang panjang, telah berubah menjadi semakin kompleks. Segala keburukan telah bermanifestasi dalam bentuk moderninsasi yang kadang tertutup atas nama keterpaksaan.

Padahal, seharusnya naluri dan watak manusia tidaklah mengalami perubahan. Sifat kita yang luhur sudah mengalami banyak alterasi terhadap cara pandang manusia terhadap kotoran batin, sebagaimana yang dilambangkan oleh Tiga Akar Kejahatan.  

Referensi: 1 2

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun