Usut punya usut, ternyata pergantian nama ini untuk menghilangkan keterkaitan dengan kolonialisme yang sudah terjadi hampir seabad yang lalu. Nama Filipina sendiri adalah pemberian Raja Spanyol Philip IIÂ yang berkuasa antara 1556 hingga 1598 yang lalu.
Adapun nama Maharlika yang diusulkan sebagai nama baru, dalam bahasa Melayu lokal, berarti bangsawan, atau bisa juga berarti ketenangan. Selain itu, kata Maharlika juga bisa mereprentasekan nasionalisme, karena merujuk kepada budaya asli dari bangsa Filipina.
**
Kisah lain lagi, dapat juga dipertik dari tulisan karya Kompasianer Greogorios Nyaming yang berjudul, "Uniknya Pemberian Nama Anak Secara Adat dalam Suku Dayak Desa."
Menurutnya, pemberian nama adat harus mengambil nama-nama leluhur atau moyang. Dua hal yang harus diperhitungkan adalah (1) selama hidupnya dikenal baik, dan (2) memiliki umur yang panjang.
Selain itu, kehadiran orang-orang tua dalam pemberian nama juga sangat diperlukan, karena merekalah yang memahami sikap dari sang empunya nama. Nama disini bagi masyarakat Suku Dayak Desa, adalah warisan kebaikan dari para moyang.
**
Lain lagi kisah si Kentut, yang sampai sujud syukur ketika pengadilan mengganti namanya secara resmi sebagai Ikhsan Hadi.
Padahal menurut ayahnya, nama tersebut adalah pilihan dari buyutnya, dan juga disetujui olehnya, karena 'enak didengar'. Pun halnya dengan kata kentut yang sama sekali tidak dimaksudkan sebagai "angin yang keluar dari bokong".
"Lho, mboten niku. Mboten, maksude Mbah Buyut mboten kentut (Lho bukan itu. Tidak, maksudnya Kakek Buyut. bukan kentut),"Â kata Larno (53), ayah Ihsan, di Karanganyar, Jawa Tengah.
Dalam bahasa Jawa, Ada perbedaan antara pelafalan dan penyebutan T dan TH, sehingga nama Kentut seharusnya Kenthut. Tidak ada makna dari nama Kenthut, menurut Larno, ia menyetujuinya karena enak didengar.