Mitha tidak butuh baju yang mahal, apalagi harta berlimpah. Akulah yang menentukan kapan saatnya ia makan, dan kapan saatnya ia tidur.
Begitu pula dengan Dian yang selalu diam. Ia telah memakan umpanku, menemani Om Dahlan untuk pesta semalam. Pesta yang cukup mahal untuk harga seratus juta per layanan.
Mitha tidak tertarik dengan uang, dan kuyakin Om Dahlan terlalu gengsi untuk menyentuh dirinya.
Tiwi yang masih muda, tentunya menarik untuk digoda. Kepolosan anak mahasiswi, membuatku muak dengan erangan duniawi demi sepeser uang yang tersaji. Â
Mitha tidak perlu digoda, ia sudah terbiasa menemami tuannya demi segelas susu.
Syenni yang sudah bersuami, pandai menimbulkan rasa empati. Ia rela melucuti cincin kawinnya, hanya demi kalung emas yang ditukar dengan kenikmatan yang bergegas.
Mitha tidak pernah mengeluh, satu-satunya kalung imitasi sebagai tanda kepemilikanku, tak pernah ia lepaskan.
Aku terlalu memahami wanita, alibi yang cukup untuk tidak pernah jatuh hati. Tidak ada cinta sejati, yang ada hanyalah amaran di tengah selangkangan.
Cinta abadi hanya bagi mereka yang anarki, naif menyintasi kehidupan yang penuh apati. Untuk apa membela diri, hingga pada akhirnya akan tersakiti.
Mitha tidak perlu dicintai. Ia cukup tahu diri dengan melayaniku. Aku memiliki kuasa penuh atas dirinya. Tidak akan ada yang pernah tahu kapan aku akan memeluknya, dan kapan aku akan mencampakkannya.
Mitha tidak punya pilihan. Menemaniku atau kembali sebagai binatang jalanan.