Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Makan Daging Sapi Lebih Haram daripada "Nge-Bir"?

21 Agustus 2020   19:27 Diperbarui: 9 Juni 2021   10:58 10462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan daging menurut orang Buddha. | sumber foto: pixabay.com/kariwil

Seorang kawan bernama Hendrik (nama samaran). Ia adalah penganut Buddha Mahayana sejati. Sedari kecil telah dibiasakan untuk tidak makan daging sapi.

"Sapi itu haram, aku tidak pernah makan daging sapi." Demikian ungkap Hendrik

"Wagyu enak lho, harganya selangit, tapi sesuai ama rasanya." Ujarku iseng menggoda dirinya agar jatuh ke dalam "dosa besar".

Bagi penulis, makan sapi tidak masuk dalam daftar dosa besar. Sebagai seorang penganut Buddhis Theravada, memang tidak ada daftar "korban" yang dianggap sebagai "santapan haram."

Yang tidak dianjurkan adalah membunuh dan langsung memakannya. Seperti berburu, memancing, ataupun menjagal binatang hidup. Namun jika hewan tersebut sudah tersedia di atas meja, maka apapun layak dicoba lidah.

Nah, sebagai sesama penganut Buddhisme, meskipun beda aliran, kami berdua tetap berpegang teguh kepada Pancasila Buddhis, atau sila (moralitas) utama yang harus dijaga dan tidak boleh dilanggar oleh para umat.

Ke-lima Pancasila Buddhis itu adalah: 1) Tidak Membunuh Mahluk Hidup, 2) Tidak Mencuri, 3) Tidak Berzinah/Melakukan Perbuatan Asusila, 4) Tidak Berbohong, dan 5) Tidak meminum minuman/makanan yang bisa memabukkan.

Baca juga: Meluruskan Stereotipe (Miring) Agama Buddha

Intinya adalah, kami memercayai bahwa hidup tidak rumit-rumit amat, jika ingin tenang, minimal kelima aturan ini tidaklah dilanggar.

Namun kata siapa kalau hidup itu tidak rumit? Buktinya, berbohong itu sangat mudah dilakukan, bisa atas alasan kebaikan dan bisa juga atas nama kepepet.

"Sudah makan belum?" Karena tidak ingin merepotkan, maka dijawablah, "iya sudah".

Namun untungnya, seorang Bhante pernah bersabda, bahwa sebuah kebohongan akan menjadi perbuatan buruk, jika kehendaknya adalah buruk.

Jelas jika ditanya, "Sudah makan belum?" Karena yang disajikan itu wagyu nan lezat, terpaksalah dijawab, "iya belum", meskipun sudah. Ini adalah ketamakan!

**

Ilustrasi (sumber: pragueparty.edu)
Ilustrasi (sumber: pragueparty.edu)
Hingga kami berdua menjamu seorang sahabat dari Jepang. Agar ia senang, tentunya 5 jenis daging dan bir dingin, akan setia menemani. Menu yang terbaik pun kami pilih dari sebuah restoran terkenal di kota Makassar.

"Kam-pei" gelas diangkat, bir-pun diteguk beramai-ramai. Aku sih gak munafik, meskipun jelas ajaran meminum bir itu salah, namun apa daya, manusia masih butuh dosa bukan?

Lagipula kembali lagi kepada kehendak, "aku minum bir untuk menghormati tamu" dan ratusan alasan lainnya yang bisa bikin dewa pencatat dosa geleng-geleng kepala.  

Baca juga: Serba-serbi Buddha, Waisak, dan 15 Kutipan Kebijaksanaan Siddharta Gautama

"Ayo makan" sendok diangkat, 5 macam daging langsung dinikmati oleh lidah yang bergoyang, kecuali  sapi black pepper yang luput dari amukan si Hendrik yang kelaparan.

Aku sih tenang-tenang saja, karena black pepper ini memang salah satu favoritku.

Usai pesta, kami pun mengantar Hiro-san yang sudah setengah mabuk kembali ke hotelnya. Akhirnya hanya sisa diriku dan si Hendrik di atas mobil.

"Eh Hendrik, kamu tadi gak makan sapi, tapi kok tetap aja nge-bir?" tanyaku yang membuat Hendrik sempat terdiam beberapa saat.

"Sebenarnya sih, kalau mau jujur, aku terhadap ajaran agama juga tidak gimana-gimana amat, kok." Hendrik membalas spontan.

"Kalau yang kamu maksud adalah Pancasila Buddhis, sebenarnya yang mana sih yang tidak aku langar?" Aku mendengarkan.

"Membunuh nyamuk iya, mencuri mangga tetangga iya, berbohong apalagi, kalau mabuk? Kamu lihat apa yang baru aku lakukan kan?" Aku terdiam sejenak, menunggu daftar hitam terakhir yang akan keluar dari mulut Hendrik.

"Kamu tahu kan, gimana hubunganku ama Evellyn ..." Ujar Hendrik, seolah-olah mampu membaca pikiranku. Aku tidak ingin membahasnya lagi, karena jelas, itu adalah urusan pribadi.

"Jika mau jujur, aku tidak makan sapi bukan karena Tuhan atau agamaku, tapi untuk menghormati ayah-bundaku dan sekaligus menjaga tradisi keluarga kami."

"Bayangkan Rud, gimana rasanya jika sejak kecil, kamu sudah didoktrin bahwa daging sapi tidak boleh, daging sapi haram, makan daging sapi bisa masuk neraka. Mana gak tertanam sampai sekarang."

**

Singkat cerita, setelah berhasil mengantar Hendrik yang pulang dalam keadaan setengah mabuk, aku kembali mengendarai mobil sendirian menuju arah rumahku.

Aku merenung perkataan Hendrik sejenak. Benar juga apa yang ia katakan. Sebuah doktrin yang diterima dengan baik, dengan sempurna telah dilaksanakan.

Baca juga: Mengapa Umat Buddha Tidak Membunuh Nyamuk?

Namun yang mengatakan doktrin tersebut, bukanlah Tuhan yang diagung-agungkan, namun orangtua yang dihormati. Prinsip Hendrik yang jelas bukan orang suci, ternyata mampu melaksanakan ajaran orangtuanya dengan sempurna hingga kini.

Andaikan, orangtua Hendrik melakukan doktrinisasi Pancasila Buddhis kepada Hendrik sedari kecil, apakah ia juga akan melakukan hal yang sama seperti bagaimana ia menolak daging sapi?

Aku berpikir sejenak, apakah aku sudah melakukan hal yang sama mengajar anak-anakku agar dapat menjaga Pancasila Buddhis dengan baik? Ternyata tidak!

Hal yang sama mungkin juga luput dari pemikiran orangtua Hendrik.

Anakku masih kecil, hingga belum memahami apa arti perzinahan.

Anakku masih kecil, hingga tidak pantas mengenal alkohol.

Anakku masih kecil, hingga perlu diajarkan untuk menjaga rahasia dengan tidak mengatakan yang sebenarnya.

**

Sahabatku yang budiman, memang agama adalah urusan pribadi kepada Tuhan. Baik atau buruknya sebuah perbuatan, semuanya bergantung kepada yang melaksanakannya.

Namun sebagai mahluk ciptaan Tuhan, kita telah diberikan tanggung jawab untuk mendidik anak-anak kita agar dapat menjadi manusia yang lebih baik nanti.

Akan tetapi...

Kita mengajarkan kebaikan dengan menyembunyikan fakta bahwa perbuatan buruk ada di sekitar kita.

Kita menamkan nilai budi pekerti dengan tidak memberikan contoh kehidupan yang kejam.

Kita melihat sesuatu yang bernilai dengan mengabaikan kenyataan bahwa masih banyak hal yang jauh lebih bernilai di luar sana.   

Pada akhirnya, anak-anak akan terbentuk bukan dari apa yang kita yakini. Mereka adalah ciptaan yang terbentuk dari apa yang mereka yakini.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun