Seorang kawan bernama Hendrik (nama samaran). Ia adalah penganut Buddha Mahayana sejati. Sedari kecil telah dibiasakan untuk tidak makan daging sapi.
"Sapi itu haram, aku tidak pernah makan daging sapi."Â Demikian ungkap Hendrik
"Wagyu enak lho, harganya selangit, tapi sesuai ama rasanya." Ujarku iseng menggoda dirinya agar jatuh ke dalam "dosa besar".
Bagi penulis, makan sapi tidak masuk dalam daftar dosa besar. Sebagai seorang penganut Buddhis Theravada, memang tidak ada daftar "korban" yang dianggap sebagai "santapan haram."
Yang tidak dianjurkan adalah membunuh dan langsung memakannya. Seperti berburu, memancing, ataupun menjagal binatang hidup. Namun jika hewan tersebut sudah tersedia di atas meja, maka apapun layak dicoba lidah.
Nah, sebagai sesama penganut Buddhisme, meskipun beda aliran, kami berdua tetap berpegang teguh kepada Pancasila Buddhis, atau sila (moralitas) utama yang harus dijaga dan tidak boleh dilanggar oleh para umat.
Ke-lima Pancasila Buddhis itu adalah:Â 1) Tidak Membunuh Mahluk Hidup, 2) Tidak Mencuri, 3) Tidak Berzinah/Melakukan Perbuatan Asusila, 4) Tidak Berbohong, dan 5) Tidak meminum minuman/makanan yang bisa memabukkan.
Baca juga: Meluruskan Stereotipe (Miring) Agama Buddha
Intinya adalah, kami memercayai bahwa hidup tidak rumit-rumit amat, jika ingin tenang, minimal kelima aturan ini tidaklah dilanggar.
Namun kata siapa kalau hidup itu tidak rumit? Buktinya, berbohong itu sangat mudah dilakukan, bisa atas alasan kebaikan dan bisa juga atas nama kepepet.
"Sudah makan belum?"Â Karena tidak ingin merepotkan, maka dijawablah, "iya sudah".
Namun untungnya, seorang Bhante pernah bersabda, bahwa sebuah kebohongan akan menjadi perbuatan buruk, jika kehendaknya adalah buruk.
Jelas jika ditanya, "Sudah makan belum?"Â Karena yang disajikan itu wagyu nan lezat, terpaksalah dijawab, "iya belum", meskipun sudah. Ini adalah ketamakan!