"Membunuh nyamuk iya, mencuri mangga tetangga iya, berbohong apalagi, kalau mabuk? Kamu lihat apa yang baru aku lakukan kan?" Aku terdiam sejenak, menunggu daftar hitam terakhir yang akan keluar dari mulut Hendrik.
"Kamu tahu kan, gimana hubunganku ama Evellyn ..." Ujar Hendrik, seolah-olah mampu membaca pikiranku. Aku tidak ingin membahasnya lagi, karena jelas, itu adalah urusan pribadi.
"Jika mau jujur, aku tidak makan sapi bukan karena Tuhan atau agamaku, tapi untuk menghormati ayah-bundaku dan sekaligus menjaga tradisi keluarga kami."
"Bayangkan Rud, gimana rasanya jika sejak kecil, kamu sudah didoktrin bahwa daging sapi tidak boleh, daging sapi haram, makan daging sapi bisa masuk neraka. Mana gak tertanam sampai sekarang."
**
Singkat cerita, setelah berhasil mengantar Hendrik yang pulang dalam keadaan setengah mabuk, aku kembali mengendarai mobil sendirian menuju arah rumahku.
Aku merenung perkataan Hendrik sejenak. Benar juga apa yang ia katakan. Sebuah doktrin yang diterima dengan baik, dengan sempurna telah dilaksanakan.
Baca juga: Mengapa Umat Buddha Tidak Membunuh Nyamuk?
Namun yang mengatakan doktrin tersebut, bukanlah Tuhan yang diagung-agungkan, namun orangtua yang dihormati. Prinsip Hendrik yang jelas bukan orang suci, ternyata mampu melaksanakan ajaran orangtuanya dengan sempurna hingga kini.
Andaikan, orangtua Hendrik melakukan doktrinisasi Pancasila Buddhis kepada Hendrik sedari kecil, apakah ia juga akan melakukan hal yang sama seperti bagaimana ia menolak daging sapi?
Aku berpikir sejenak, apakah aku sudah melakukan hal yang sama mengajar anak-anakku agar dapat menjaga Pancasila Buddhis dengan baik? Ternyata tidak!