Sebabnya para tentara wanita hanya boleh memiliki dan menggunakan satu pembalut saja selama masa mentruasi. So-Yeon mengatakan kepada sumber bahwa mereka harus bangun malam hari untuk mencuci pembalut yang terbuat dari kapas secara sembunyi-sembunyi.
"Setelah enam bulan sampai satu tahun kami hidup di barak, kami tidak bisa menstruasi karena kekurangan gizi, dan tinggal di lingkungan yang penuh tekanan," katanya.
"Para prajurit wanita mengatakan bahwa mereka senang tidak mengalami menstruasi, tetapi itu hal buruk, tetapi jika mereka mengalami menstruasi itu juga sangat buruk," jelasnya
Tidak ada perbedaan tugas dan latihan militer bagi pria dan wanita di Korea Utara. Kondisi latihan yang ketat, serta hukuman ala militer berlaku sama bagi seluruh personel.
Perbedaannya, hanya terjadi pada pelecehan seksual yang seringkali dialami oleh para tentara wanita. Mereka sering menjadi obyek pemerkosaan oleh para komandan lelaki yang mengawasinya.
Meskipun So-Yeon mengaku bahwa selama menjadi tentara, dirinya tidak pernah diperkosa, namun ia terlalu sering melihat nasib kawan-kawan lainnya yang harus melayani komandannya di ranjang sendiri.
Korea Utara yang memiliki budaya patriarki yang tinggi, seringkali menjadikan wanita sebagai obyek seksual.
"Kami diperlakukan seperti mainan. Kami manusia. Kami bisa merasakannya. Kadang, kami menangis tanpa tahu kenapa,"Â ungkap Oh Jung-Hee, seorang pembelot yang mengisahkan pengalamannya.
Ia mengatakan saking banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di Korea Utara, hingga warga menganggapnya bukan masalah serius lagi.
Kisah dari Jung-Hee ini terangkum dalam laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada tanggal 01.11.2018, yang merupakan kumpulan dari wawancara 54 wanita Korut yang melarikan diri sejak Kim Jong-Un berkuasa.
Meskipun pemerintah Korut memberlakukan hukuman 7 tahun penjara bagi para pemerkosa, namun hal tersebut tidak berlaku bagi para pejabat dan orang penting.