Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Studi Membuktikan, 1 dari 4 Pria Pernah Terlibat Kasus Perkosaan

25 Juli 2020   16:01 Diperbarui: 25 Juli 2020   15:50 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi (sumber; nationalheraldindia.com)

"Jika Iblis sedang menganggur, maka ia memerkosa." Kutipan film The Devil's Advocate (1997).

Dari kalimat sederhana tersebut, tidaklah perlu menjadi ahli bahasa untuk memahami bahwa perkosaan adalah tindakan Iblis. Namun, jika memang keji, mengapa kasus pemerkosaan semakin banyak terjadi akhir-akhir ini.

Kalau tidak mau repot, cukup menjawab saja, "Semua salah Iblis yang telah merasuki manusia."

Nah, seberapa jauh sih rasukan si Iblis ini terhadap manusia? Ternyata menurut laporan PBB tentang kekerasan terhadap perempuan di beberapa bagian di Asia (Jurnal Lancet Global Health), 1 dai 4 pria yang disurvei, mengaku pernah melakukan setidaknya satu kali pemerkosaan.

Namun survei yang dilakukan di 6 negara dan melibatkan 10,000 peserta ini bervariasi di setiap negara. Dari 10 orang yang disurvei, di Papua Nugini, 6 orang pernah memaksa hubungan seks dengan wanita. Di Bangladesh hanya kurang dari 1, sementara di Kamboja, Cina, dan Indonesia, angkanya bervariasi diantara 1 hingga 5 orang.

Tindakan pemerkosaan yang disurvei ini, termasuk pemaksaan hubungan seksual dengan pasangan resmi, namun, 1 dari 10 orang mengaku pernah memerkosa wanita yang bukan pasangannya. Selain itu, hampir setengah pria yang pernah memerkosa, mengaku melakukannya lebih dari sekali.

Memerkosa Karena Merasa Memiliki Hak.

Pandangan umum yang terjadi, penyebab timbulnya kasus perkosaan, karena cara berpakaian wanita. Namun anggapan ini sama sekali tidak benar, karena masih banyak motif lain yang lebih besar atas tindakan pemerkosaan.

Dari hasil survei yang dilakukan, alasan terbesar dari pemerkosaan adalah karena "hak seksual," dimana sekitar 73% lelaki mengakui bahwa ia pernah memaksa pasangannya (atau bukan pasangannya) untuk berhubungan seksual, karena merasa ia memiliki hak untuk itu.

Budaya patriarki serta rendahnya pendidikan menjadi kontribusi terbesar untuk alasan ini. Hal ini dikemukakan oleh Madhumita Pandey dari Anglia Ruskin University, Inggris.

Pandey melakukan survei di India yang dikenal sebagai negara yang paling tidak ramah perempuan. Menurut data dari National Crime Records Bureau, setidaknya 34,651 perempuan diperkosa di negara ini.

Pandey melakukannya selama hampir 3 tahun dengan melakukan studi di lapangan terhadap korban dan juga menanyakan langsung kepada para pelaku di penjara Tihar, New Delhi, India. 

Minimnya Pendidikan.

Kesimpulan pertama yang ia dapatkan adalah latar belakang pendidikan yang rendah. Bukan hanya pendidikan formal saja, namun minimnya pendidikan seks juga berpengaruh disini. 

Pada kebanyakan sekolah, pendidikan seks tidak diperbolehkan dengan alasan bisa merusak nilai tradisional dan pikiran anak-anak muda. Pun hal nya dengan pendidikan keluarga, dimana para orangtua merasa tabu untuk menyebutkan kata penis, vagina, perkosaan, atau seks.

Budaya konservatif inilah yang kemudian menimbulkan persepsi yang tidak menempatkan seks sebagai bagian dari norma kesusilaan, sehingga mereka menjadi pribadi yang melakukan praktik seks yang melanggar hak orang lain.

"Apa yang dilakukan pemerkosa merupakan hasil didikan dan proses berpikir yang keliru" ujar Pandey.

Budaya Patriarki yang Menshahihkan Tindakan Pemerkosaan.

Pola didik yang keliru, tidak saja terjadi pada pelaku, namun juga kepada para korban. Bagi pelaku, budaya patriarki yang membuat lelaki merasa dominan, harus memiliki kuasa, atau harus melebihi perempuan menjadi pemicu utama disini.

Demikian pula dengan para wanita yang mengamini gagasan tersebut, karena merasa mereka memang memiliki derajat yang lebih rendah. Sehingga korban pemerkosaan, seringkali dianggap lumrah oleh lingkungannya.

Sangat jarang pelaku yang menyesal, karena adanya justifikasi budaya patriarki atas tindakan kejahatan yang dilakukan. Para pelaku menganggap tindakannya adalah hak normal, dan apapun yang ia lakukan, yang salah adalah korbannya.

Toxic Masculinity yang Salah Kaprah.

Kejadian putusan perkara perkosaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara pada tahun 2007, yang membebaskan pelaku adalah contoh Toxic Masculinity yang salah kaprah.

Korban adalah seorang wanita usia 25 tahun yang diperkosa bergilir oleh beberapa lelaki setelah terlihat mabuk di pantai. Sang korban tidak saja mendapatkan keputusan yang tidak adil, namun ia juga harus menerima pelecehan dari hakim yang menyebutnya sebagai "wanita nakal" hanya karena ia sudah tidak perawan lagi.

Pun hal yang sama sering juga terjadi dalam proses penyidikan terhadap korban perkosaan. Para penyidik, seringkali melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol, seperti, "Apakah anda menikmati hubungan seksual tersebut?" atau "Apakah anda pernah berhubungan seks dengan lelaki lain sebelumnya?"

Meskipun hal ini juga merupakan standar berita acara, namun kondisi psikologis korban sama sekali tidak dipertimbangkan. Dengan demikian, para pekerja seks komersial yang mengalami kekerasan seksual, seringkali tidak menjadi alibi, karena dianggap sebagai bagian dari pekerjaannya.

Memerkosa untuk Menghukum Korban.

Sejarah mencatat bahwa salah satu strategi perang untuk menghukum pihak lawan adalah dengan memerkosa wanita musuh. Hal ini masih marak terjadi di awal abad ke-20, meskipun perjanjian Jenewa akhirnya memutuskan bahwa tindakan ini dianggap sebagai salah satu dari kejahatan perang.

Namun, kejadian di Pakistan sepertinya masih mengadopsi cara ini untuk menghukum warganya. Pada bulan Juli 2017, sebuah dewan desa di Pakistan memperbolehkan warganya yang bernama Mohammad Ashfag memerkosa perempuan berusia 16 tahun, setelah saudara laki-lakinya dituduh memerkosa adik perempuan Ashfag.

Dalam kehidupan sehari-hari, pelaku bisa juga melakukan pemerkosaan dengan motif balas dendam ini. Seperti yang dialami oleh Calla Halles, seorang wanita yang tinggal di Charlotte, North Carolina, AS. Ia mengaku diperkosa oleh teman kencannya, karena sang lelaki tidak menyukai pekerjaan Calla.

Di awal kencannya, ia tidak merasa ada yang salah, namun begitu si pelaku mengetahui bahwa dirinya bekerja di klinik aborsi, ia mulai menunjukkan peringai yang aneh. Sebagai puncaknya, ia pun memerkosa Calla.

"Dia mengatakan bahwa saya sudah sepantasnya menerima perlakuan tersebut. Bagaimana mungkin kamu bisa hidup dengan profesi yang digeluti, sepatutnya kamu menyesali pilihanmu, dan kamu imoral, kamu pembunuh, begitu ucapnya. Selain itu, dia juga bilang bahwa perbuatannya tidak lebih tercela daripada apa yang saya buat terhadap perempuan-perempuan pasien klinik aborsi. Katanya, dia akan membuat saya mengingatnya," aku Hales.

Kisah pemerkosaan akibat balas dendam, memberikan julukan sexually sadistic rapist bagi pelakunya. Dalam menjalankan aksinya, pelaku menunjukkan kuasa dan kontrolnya terhadap sang korban, atau karena kebencian terhadap korban.

Pengaruh Trauma yang Menyebabkan Tindakan Pemerkosaan.

Dalam studi Jaydip Sarkar (2013) yang dimuat di Indian Journal of Psychiatry, Sarkar menyebutkan bahwa selain masalah pendidikan dan budaya patriarki, ternyata trauma juga bisa menjadi pemicu pemerkosaan.

Hal ini terjadi bila trauma yang dialami oleh pelaku, sudah berada pada tahap yang sulit dikontrol. Mereka dapat menjadi seseorang yang sangat agresif, brutal, dan sadis.

Contoh trauma masa kecil yang dialami, seperti pelecehan seksual terhadap diri sendiri, atau orang-orang terdekatnya, bisa membuat mereka melakukan cara yang sama untuk melampiaskan kemarahannya.

Memerkosa untuk Mendapatkan Hiburan, atau Mencari Kesenangan.

Jika seseorang sudah berada pada tahap ini, maka ia akan masuk kepada tahap tindakan kriminal yang terencana. Mereka adalah orang yang menganggap memerkosa adalah sebuah kesenangan.

Jenis orang ini mendapatkan julukan sebagai pemerkosa oportunis (opportunistic rapist), karena melakukan kejahatannya dengan memanfaatkan keadaan yang mendukung, seperti jalanan sepi, tengah malam, atau pada saat korban sedang berada pada posisi yang lemah.

Wasana Kata.

Aksi pemerkosaan adalah tindakan yang keji. Meskipun telah dilindungi oleh undang-undang, dan pelaku akhirnya dihukum, namun apa yang dialami oleh korban tidak sepadan dengan apa yang dirasakan oleh pelaku.

Pelaku bisa saja minta maaf dan mengaku khilaf, namun sang korban tidak akan dengan mudah dapat melupakan apa yang telah diperbuat terhadap dirinya.

Kesalahan terbesar dalam masyarakat kita adalah melihat kasus pemerkosaan sebagai sebuah generalisasi, yakni hanya melihat siapa yang benar dan siapa yang salah. Pun pemberitaan di media massa juga hanya menyorot pelaku, korban, dan kronologis kejadian.

Padahal kenyataan yang ada, masalah yang muncul, hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang belum terungkap karena satu dan lain hal.

Untuk menyelesaikan masalah ini, siapapun bisa menjadi stakeholder disini. Dimulai dari keseriusan pemerintah, seperti pengesahan RUU PKS yang masih jauh dari realisasi, hingga kepada penyediaan sarana dan prasarana untuk mereduksi angka perkosaan di berbagai tempat.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun