Pengaruh Trauma yang Menyebabkan Tindakan Pemerkosaan.
Dalam studi Jaydip Sarkar (2013) yang dimuat di Indian Journal of Psychiatry, Sarkar menyebutkan bahwa selain masalah pendidikan dan budaya patriarki, ternyata trauma juga bisa menjadi pemicu pemerkosaan.
Hal ini terjadi bila trauma yang dialami oleh pelaku, sudah berada pada tahap yang sulit dikontrol. Mereka dapat menjadi seseorang yang sangat agresif, brutal, dan sadis.
Contoh trauma masa kecil yang dialami, seperti pelecehan seksual terhadap diri sendiri, atau orang-orang terdekatnya, bisa membuat mereka melakukan cara yang sama untuk melampiaskan kemarahannya.
Memerkosa untuk Mendapatkan Hiburan, atau Mencari Kesenangan.
Jika seseorang sudah berada pada tahap ini, maka ia akan masuk kepada tahap tindakan kriminal yang terencana. Mereka adalah orang yang menganggap memerkosa adalah sebuah kesenangan.
Jenis orang ini mendapatkan julukan sebagai pemerkosa oportunis (opportunistic rapist), karena melakukan kejahatannya dengan memanfaatkan keadaan yang mendukung, seperti jalanan sepi, tengah malam, atau pada saat korban sedang berada pada posisi yang lemah.
Wasana Kata.
Aksi pemerkosaan adalah tindakan yang keji. Meskipun telah dilindungi oleh undang-undang, dan pelaku akhirnya dihukum, namun apa yang dialami oleh korban tidak sepadan dengan apa yang dirasakan oleh pelaku.
Pelaku bisa saja minta maaf dan mengaku khilaf, namun sang korban tidak akan dengan mudah dapat melupakan apa yang telah diperbuat terhadap dirinya.
Kesalahan terbesar dalam masyarakat kita adalah melihat kasus pemerkosaan sebagai sebuah generalisasi, yakni hanya melihat siapa yang benar dan siapa yang salah. Pun pemberitaan di media massa juga hanya menyorot pelaku, korban, dan kronologis kejadian.