Pandey melakukannya selama hampir 3 tahun dengan melakukan studi di lapangan terhadap korban dan juga menanyakan langsung kepada para pelaku di penjara Tihar, New Delhi, India.Â
Minimnya Pendidikan.
Kesimpulan pertama yang ia dapatkan adalah latar belakang pendidikan yang rendah. Bukan hanya pendidikan formal saja, namun minimnya pendidikan seks juga berpengaruh disini.Â
Pada kebanyakan sekolah, pendidikan seks tidak diperbolehkan dengan alasan bisa merusak nilai tradisional dan pikiran anak-anak muda. Pun hal nya dengan pendidikan keluarga, dimana para orangtua merasa tabu untuk menyebutkan kata penis, vagina, perkosaan, atau seks.
Budaya konservatif inilah yang kemudian menimbulkan persepsi yang tidak menempatkan seks sebagai bagian dari norma kesusilaan, sehingga mereka menjadi pribadi yang melakukan praktik seks yang melanggar hak orang lain.
"Apa yang dilakukan pemerkosa merupakan hasil didikan dan proses berpikir yang keliru" ujar Pandey.
Budaya Patriarki yang Menshahihkan Tindakan Pemerkosaan.
Pola didik yang keliru, tidak saja terjadi pada pelaku, namun juga kepada para korban. Bagi pelaku, budaya patriarki yang membuat lelaki merasa dominan, harus memiliki kuasa, atau harus melebihi perempuan menjadi pemicu utama disini.
Demikian pula dengan para wanita yang mengamini gagasan tersebut, karena merasa mereka memang memiliki derajat yang lebih rendah. Sehingga korban pemerkosaan, seringkali dianggap lumrah oleh lingkungannya.
Sangat jarang pelaku yang menyesal, karena adanya justifikasi budaya patriarki atas tindakan kejahatan yang dilakukan. Para pelaku menganggap tindakannya adalah hak normal, dan apapun yang ia lakukan, yang salah adalah korbannya.
Toxic Masculinity yang Salah Kaprah.