Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Cina, karena Aku Indonesia!

4 Juni 2020   06:46 Diperbarui: 4 Juni 2020   06:54 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maa.. maksud saya, Cainis kho," Ungkap Lina, karyawanku yang telah mengabdi selama 20 tahun. Sikapnya yang canggung, mengungkapkan rasa bersalahnya karena awalnya telah menggunakan kata Cina yang merujuk kepada seorang pelanggan toko.

Aku yang sempat terdiam beberapa saat, kemudian menanggapi "Ya sama aja tooo, Cainis dan Cina, apa bedanya?" Lina kemudian tersipu malu menyadari bahwa ia belum terbiasa menggunakan kata Cainis setelah sekian lama Keputusan Presiden Nomer 12 Tahun 2014, tentang pergantian istilah "China/Cina/Tjina" dengan "Tionghoa," didengungkan.

Dalam Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014, presiden SBY menilai pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, atau komunitas tertentu pada dasarnya melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia, yang juga tertuang dalam UUD 1945.

Sejarah mencatat, kebencian terhadap warga Tionghoa ini sengaja diciptakan sebagai konstruksi sosial oleh penguasa masa silam, baik dari pihak Belanda, maupun Raja-raja yang berkuasa.

Mulai dari peristiwa geger pecinan yang terjadi pada tahun 1740 hingga dengan kerusuhan Mei 1998. Pun pada saat Perang Jawa Meletus (1825-1830), masyarakat Jawa pada saat itu sangat membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar pemungut pajak bagi Raja Jawa, maupun oleh kaum kolonial.

Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun juga turut menyuburkan tindakan diskriminatif terhadap suku Tionghoa. Kewajiban untuk mengubah nama "Tiga Huruf" menjadi nama yang "kejowo-jowoan", menutup sekolah, menghapus segala bentuk literasi mandarin, tindakan segregasi, hingga penciptaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi," menjadi momok tersendiri.

Memang kata Cina sangat berdampak terhadap psikososial diskriminatif dalam hubungan sosial warga Indonesia dari keturunan Tionghoa, khususnya bagi mereka yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif secara langsung. Hingga saat ini, masih banyak kawan-kawan yang kurang sreg dengan panggilan Cina.

Namun nalar kembali tergelitik, apakah semua ungkapan kata Cina benar-benar mengandung ujaran kebencian? Dalam kasus Lina, jelas ia bukanlah seseorang yang bermaksud menghina orang Cina, karena kakeknya sendiri bermarga Liem dan menikah dengan seorang wanita dari suku Bugis.

Sementara percakapan dengan Mas Ade, langgananku yang jago berdagang di kampungnya telah memberikan arti kata Cina dengan sangat berbeda. Ia mengungkapkan dengan bangga bahwa kawan-kawannya memberikan pujian kepadanya dengan sebuah frasa, "Jelas kamu lebih Cina dari orang Cina."

Di kalanganku sendiri, kata Cina kadang juga masih santer terdengar. Entah karena kebiasaan, atau digunakan dengan sengaja untuk meledek sahabat yang sangat perhitungan, dengan ungkapan, "Dasar Loe Cina" (sambil terbahak-bahak).

Dengan demikian, apakah pemanggilan kata Cina kepada etnis Tionghoa, bisa langsung dicap sebagai sebuah penghinaan? Mungkin sebagian orang mengatakan iya, namun bagi aku sendiri, sebenarnya sangat bergantung kepada niatannya.

Jika ungkapan dikeluarkan dengan nada tinggi yang marah, tentu itu kasar, namun jika kata tersebut disebutkan dengan halus, tanpa ada keinginan untuk mendiskreditkan, apakah bisa tetap dianggap sebagai tindakan rasis?

Aku sendiri lebih menyukai kata Cina, karena jelas lebih mudah disebut daripada Tionghoa. Sementara kata Cainis sendiri menurutku seperti bahasa Inggris yang di indo-indo kan, gak sreg deh rasanya.

Rasialisme dalam Kehidupan

Jangan terlalu berharap rasialisme akan hilang dari muka bumi. Menjadi masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini, aksi rasialis ternyata sudah ada dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu dalam bentuk perbudakan, segregasi, kekerasan rasial, hingga genosida.

Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Australia, ada tiga alasan mengapa orang senang berlaku rasis.

Pertama, manusia akan lebih mengikuti pandangan orang lain disekitarnya. Lingkungan menjadi tempat yang penting bagi seseorang agar dapat diterima. Dengan demikian berlaku rasis terhadap orang asing di luar lingkungan, menjadi penting agar seseorang dapat tetap bertahan dalam lingkungan tersebut.

Kedua, manusia juga cenderung menghabiskan waktu dengan orang yang memiliki minat latar belakang, budaya, dan bahasa yang sama. Hal ini menciptakan rasa memiliki yang tinggi, dan sekaligus menyebabkan pola pikir bahwa kelompok mereka adalah yang terbaik diantara yang lainnya.

Ketiga, manusia sering menilai atau melabelkan sesuatu kepada orang lain dengan sangat cepat. Dengan menganggap kelompok sendiri sebagai yang terbaik, pemberian label "lebih rendah" terhadap kelompok yang berbeda, kemudian menjadi pemicu awal dari sikap diskriminatif.

Menyikapi Secara Bijak

Menurut peundang-undangan, ungkapkan kata Cina memang sudah tidak lagi berlaku, namun jika saja disebutkan, maka tidak seharusnya menganggu perasaan dan pikiran.

Menurut aku sih, selama akan terus "diharamkan" maka kata ini akan terus menjadi momok bagi etnis Cina, dan juga akan terus dijadikan sebagai alat propaganda bagi mereka yang tidak menyukai keharmonisan SARA terjadi di bumi Nusantara.

Kita harus melihat secara bijak, apa sih sesungguhnya niat di balik sebuah ucapan atau tindakan. Janganlah melakukan generalisasi, sehingga sesuatu yang tidak terlalu penting kemudian akhirnya dibesar-besarkan dan menimbulkan masalah.

Aku sendiri telah beberapa kali menjadi korban rasialisme, dibilangi Cina bahkan dipukuli. Namun sebutkanlah itu sebagai bunga-bunga kehidupan yang mendewasakan.

Namun aku juga tidak memungkiri bahwa aku juga adalah seorang yang rasialis. Jika saja ada orang asing yang merasa lebih jago di tanah airku, maka kata pertama yang keluar dari mulutku adalah, "Eh loe (Bule, Jepang, Korea, Cina, atau India) jangan macam-macamlah di Indonesia, atau aku usir kamu kembali ke negaramu".

Nah apakah hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan rasialis atau nasionalisme?  

Rasialis dan Radikal Rasialisme

Dengan fakta di atas, menurut hematku, rasialisme mungkin dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu rasialis dan radikal rasialisme. Selama perilaku rasialis masih berada dalam batasan "wajar," maka marilah kita menganggapnya sebagai salah satu teori Sosiologi.

Namun jika sudah dijadikan sebagai sebuah aksi atau tindakan radikal penuh kebencian, seumpama pembatasan hak, penyerangan fisik, atau pengrusakan properti, disinilah saatnya kita mengucapkan "Stop to Racism"

Disaat aku kecil dulu, dimana murid sekolah mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, tindakan diskriminasi juga terjadi diantara sesama lho. Kala itu, aku yang berasal dari suku Hokkian, sempat bermusuhan dengan geng suku Kanton.

Usut punya usut, ternyata pemicunya adalah persaingan diantara dua pedagang pasar. Seorang pedagang yang tidak terima langganannya direbut, kemudian mengangkat isu suku untuk mendapat dukungan dari komunitasnya. Nah ternyata anak dari kedua pedagang tersebut adalah teman sekelas.

Jelas ini adalah bentuk dari radikal rasialisme, meskipun tidak sempat menjadi viral, karena mungkin medsos belum dikenal.

Mencegah Tindakan Radikal Rasialis

Kita harus melihat secara bijak, bagaimana pendiri bangsa ini membangun Indonesia sebagai negara yang plural dengan kekuatan multi etnisnya. Sila ke-3 Pancasila telah menuangkannya, semboyan Bhineka Tunggal Ika telah mengungkapkannya, dan budaya "Tepo Seliro" telah mewariskannya.

Tindakan radikal rasialisme, bukanlah tindakan untuk mempertahankan hak seseorang atau kelompok tertentu. Jika sampai terjadi, maka hak kita untuk berbangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas akan terusik.

Selama tindakan radikal rasialisme tetap eksis terhadap warga Cina, maka segala sesuatu yang berbau Bugis, Berwajah Jawa, Berkulit Ambon, dan Bersuara Batak akan juga mengalami hal yang sama.

Kita harus kembali kepada peribahasa "jika tidak ingin disakiti, maka janganlah menyakiti." Demikian pula jika tidak ingin menjadi korban radikal rasialisme, janganlah menjadi rasialis.

Yang jelas, aku Cina, dan emang Cina kok. Aku tidak mudah tersinggung dengan ungkapan Cina, karena aku adalah Indonesia. Aku mencintai bangsa dan negaraku. Aku tidak pernah menganggap bangsaku membenci diriku. Aku selalu yakin bahwa merah darahku, putih tulangku, hanya untuk Indonesia.

Meskipun aku harus berhadapan dengan orang yang membenciku, hal itu tidak lantas membuatku membenci negara dan bangsaku. Mereka yang melakukan tindakan radikal rasialis, sesungguhnya tidak menyadari bahwa perbedaan itu adalah keragaman yang sempurna.

Jayalah Bangsaku, Jayalah Indonesia

Sumber: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun