Kita harus melihat secara bijak, apa sih sesungguhnya niat di balik sebuah ucapan atau tindakan. Janganlah melakukan generalisasi, sehingga sesuatu yang tidak terlalu penting kemudian akhirnya dibesar-besarkan dan menimbulkan masalah.
Aku sendiri telah beberapa kali menjadi korban rasialisme, dibilangi Cina bahkan dipukuli. Namun sebutkanlah itu sebagai bunga-bunga kehidupan yang mendewasakan.
Namun aku juga tidak memungkiri bahwa aku juga adalah seorang yang rasialis. Jika saja ada orang asing yang merasa lebih jago di tanah airku, maka kata pertama yang keluar dari mulutku adalah, "Eh loe (Bule, Jepang, Korea, Cina, atau India) jangan macam-macamlah di Indonesia, atau aku usir kamu kembali ke negaramu".
Nah apakah hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan rasialis atau nasionalisme? Â
Rasialis dan Radikal Rasialisme
Dengan fakta di atas, menurut hematku, rasialisme mungkin dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu rasialis dan radikal rasialisme. Selama perilaku rasialis masih berada dalam batasan "wajar," maka marilah kita menganggapnya sebagai salah satu teori Sosiologi.
Namun jika sudah dijadikan sebagai sebuah aksi atau tindakan radikal penuh kebencian, seumpama pembatasan hak, penyerangan fisik, atau pengrusakan properti, disinilah saatnya kita mengucapkan "Stop to Racism"
Disaat aku kecil dulu, dimana murid sekolah mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, tindakan diskriminasi juga terjadi diantara sesama lho. Kala itu, aku yang berasal dari suku Hokkian, sempat bermusuhan dengan geng suku Kanton.
Usut punya usut, ternyata pemicunya adalah persaingan diantara dua pedagang pasar. Seorang pedagang yang tidak terima langganannya direbut, kemudian mengangkat isu suku untuk mendapat dukungan dari komunitasnya. Nah ternyata anak dari kedua pedagang tersebut adalah teman sekelas.
Jelas ini adalah bentuk dari radikal rasialisme, meskipun tidak sempat menjadi viral, karena mungkin medsos belum dikenal.
Mencegah Tindakan Radikal Rasialis