Nah dengan demikian, polemik THR yang terjadi setiap tahunnya, seharusnya dilihat secara bijaksana dari kedua sisi, baik perusahaan maupun pekerja.
Harus diakui bahwa undang-undang ini muncul akibat adanya protes dari pihak yang tidak puas, dan sepanjang hal ini masih dianggap sebagai kepentingan dan beban (mohon maaf), maka sampai kapanpun THR akan selalu menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah habis.
THR sangat berhubungan dengan hari raya keagamaan yang suci, seharusnya keikhlasan menyelimuti proses pemberian THR. Ridho yang seharusnya merupakan sifat terpuji dari manusia tidak akan pernah tercapai jika polemik ini masih terus berlanjut.
Bagi penulis sendiri, seberat-beratnya beban materi yang harus dikeluarkan, namun keikhlasan membuat semua kesulitan terasa enteng.
Nah bagaimana pendapat Kompasianer mengenai polemik ini? Terkait dengan kenyataan bahwa THR hanya dikenal di Indonesia, dan bagaimana seharusnya pengusaha dan pekerja menyikapi makna THR, apa yang sebaiknya dilakukan?
Jika ada ingin menambahkan opini dan informasi, silakan menuliskannya pada kolom komentar.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H