Banyak orang berharap was-was, apakah "aku akan menerima THR tahun ini?" Pertanyaan tersebut sama beratnya dengan pertanyaan "kapankah pandemi covid-19 akan berakhir?"
Perdebatan telah terjadi, Menteri Ketenegakerjaan Ida Fauziah telah menerbitkan Surat Edaran tentang pelaksanaan pemberian THR tahun 2020 dalam masa pandemi Covid-19.
Melalui SE tersebut, Menteri Ida menjabarkan opsi bagi perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR tepat waktu, maka perlu melakukan dialog dengan para pekerja. Sontak, keputusan ini mengundang reaksi kekecewaan dari para buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)Â Said Iqbal bahkan menolak SEÂ dari Menaker ini. "KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena covid-19, buruh yang dirumahkan karena covid-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari lebaran," ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020) dikutip dari Kompas.com.
Ridho semakin sulit tercapai dan susah untuk menyalahkan siapa-siapa. Pandemi tidak untuk disalahkan, namun atas nama kemanusiaan, semuanya harus saling memahami.
Tahun 1994 ditandai dengan adanya aturan perihal THR yang dilakukan oleh pemerintah secara khusus. Dalam peraturan yang tertuang dalam Peraturan Menaker RI no. 04/1994, dijelaskan bahwa pegusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama minimal tiga bulan atau lebih.
Besaran THR pun diterima secara proporsional sesuai masa kerja dengan maksimal 1 bulan gaji, bagi para pekerja yang sudah bekerja minimal 12 bulan. Peraturan ini kemudian mendapatkan perubahan pada tahun 2013 dan 2016, yang juga melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
THR pun menjadi hak normatif bagi para pekerja yang setara dengan Upah Minimum, Hak Cuti, dan Upah Lembur. Sejak saat itu, perdebatan mengenai THR selalu disertakan dalam berbagai perselisihan industrial diantara buruh dan pengusaha.
THR yang seharusnya merupakan keikhlasan ini tak pernah luput dari pertengkaran. Sejak awal tercetus di tahun 1951 pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo, pembagian uang THR pun sudah ditandai dengan protes dari pihak buruh.
Soekiman Wirjosandjojo, yang merupakan Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6, menyatakan bahwa THR hanya diberikan kepada PNS dan TNI saja. Hingga pada tahun 1952, aksi protes dari para buruh meledak.
Buruh melakukan protes, lantaran merasa bahwa mereka juga berhak atas pembagian THR, karena telah ikut berpartisipasi dalam pembangunan melalui pengabdian kepada perusahaan swasta maupun pemerintah.