Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

THR-ku Sayang, THR-ku Malang

15 Mei 2020   21:59 Diperbarui: 19 Mei 2020   20:13 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi THR. Sumber: KOMPAS.com/Shutterstock

Yeay, bentar lagi dapat THR...

Istilah yang sudah tidak asing lagi ini selalu terasa menyejukkan dalam setiap cuti tahunan dan perayaan hari raya, oh betapa indahnya.

Hari Raya bagaikan kopi hangat, cuti bersama adalah gulanya, dan THR laksana pisang goreng yang menenami, oh betapa enaknya.

Namun perasaan gembira yang didapatkan oleh penerima THR, seharusnya juga dirasakan oleh sang pemberi, alias pengusaha bukan? Kalau terpaksa dan tidak ikhlas, bagaimana Ridhonya ya?

Apalagi jika dibarengi dengan sungutan dari sang pemberi dan paksaan dari sang penerima, astagafirullah...

Syukurlah (bukan menyombongkan diri), penulis dengan segala keikhlasan masih mengeluarkan THR penuh pada tahun ini bagi para sahabat pekerja yang telah mengabdi bertahun-tahun lamanya.

Kebetulan, selama masa pandemi, usaha penulis bukanlah yang termasuk dalam industri yang terkena dampak covid-19. Tempat usaha masih saja ramai terkunjungi, karena para bunda masih saja getol membuat kue di tengah serangan virus. Namun makna pemberian THR melebihi dari sekadar hitung-hitungan untung-rugi perusahaan.

Sejak pertama kali memulai bisnis, ibunda tercinta selalu mengingatkan untuk membayar THR kepada seluruh pekerja, meskipun pada waktu itu, THR bukan merupakan suatu keharusan dan jumlahnya pun berdasarkan nilai "sukarela."

Belum pernah sekalipun terbersit dalam pikiran penulis bahwa membagikan THR adalah sebuah beban, meskipun jumlah yang dikeluarkan tidaklah sedikit.

Secara pribadi, penulis menemukan kebahagiaan, berkat nasehat ibunda yang selalu mengajarkan untuk "turut berbahagia" atas nikmatnya THR yang didapat oleh para pegawai.

Namun di masa pandemi ini, kondisi ekonomi yang sulit membuat keikhlasan susah untuk ditemukan.

Banyak orang berharap was-was, apakah "aku akan menerima THR tahun ini?" Pertanyaan tersebut sama beratnya dengan pertanyaan "kapankah pandemi covid-19 akan berakhir?"

Perdebatan telah terjadi, Menteri Ketenegakerjaan Ida Fauziah telah menerbitkan Surat Edaran tentang pelaksanaan pemberian THR tahun 2020 dalam masa pandemi Covid-19.

Melalui SE tersebut, Menteri Ida menjabarkan opsi bagi perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR tepat waktu, maka perlu melakukan dialog dengan para pekerja. Sontak, keputusan ini mengundang reaksi kekecewaan dari para buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan menolak SE dari Menaker ini. "KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena covid-19, buruh yang dirumahkan karena covid-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari lebaran," ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020) dikutip dari Kompas.com.

Ridho semakin sulit tercapai dan susah untuk menyalahkan siapa-siapa. Pandemi tidak untuk disalahkan, namun atas nama kemanusiaan, semuanya harus saling memahami.

Tahun 1994 ditandai dengan adanya aturan perihal THR yang dilakukan oleh pemerintah secara khusus. Dalam peraturan yang tertuang dalam Peraturan Menaker RI no. 04/1994, dijelaskan bahwa pegusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama minimal tiga bulan atau lebih.

Besaran THR pun diterima secara proporsional sesuai masa kerja dengan maksimal 1 bulan gaji, bagi para pekerja yang sudah bekerja minimal 12 bulan. Peraturan ini kemudian mendapatkan perubahan pada tahun 2013 dan 2016, yang juga melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja.

THR pun menjadi hak normatif bagi para pekerja yang setara dengan Upah Minimum, Hak Cuti, dan Upah Lembur. Sejak saat itu, perdebatan mengenai THR selalu disertakan dalam berbagai perselisihan industrial diantara buruh dan pengusaha.

THR yang seharusnya merupakan keikhlasan ini tak pernah luput dari pertengkaran. Sejak awal tercetus di tahun 1951 pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo, pembagian uang THR pun sudah ditandai dengan protes dari pihak buruh.

Soekiman Wirjosandjojo, yang merupakan Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6, menyatakan bahwa THR hanya diberikan kepada PNS dan TNI saja. Hingga pada tahun 1952, aksi protes dari para buruh meledak.

Buruh melakukan protes, lantaran merasa bahwa mereka juga berhak atas pembagian THR, karena telah ikut berpartisipasi dalam pembangunan melalui pengabdian kepada perusahaan swasta maupun pemerintah.

Meskipun pada akhirnya, tuntutan para buruh yang diwarnai aksi mogok kerja ditolak, namun peristiwa ini akhirnya menjadi titik awal bagi pemerintah untuk menjadikannya sebagai anggaran rutin negara.

Polemik THR telah muncul sejak awal pencetusannya, hingga hari ini. Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia saja? Bagaimana dengan kebijakan THR di negara lain? Menarik untuk membahasnya.

Istilah THR atau dalam bahasa Inggris adalah Holiday Allowance, ternyata hanya ada di Indonesia. Pemahaman Holiday Allowance sendiri dalam berbagai negara di dunia, hanya mengacu kepada hak cuti.

Namun demikian ada juga beberapa negara yang memiliki prinsip seperti THR di Indonesia, namun pelaksanaanya sedikit berbeda dengan istilah yang berbeda juga.

Belanda, Denmark, dan Amerika Serikat adalah negara yang melakukannya. Istilah yang diberikan adalah Cuti berbayar (Paid Leave). Tidak persis sama dengan THR, meskipun sama-sama dibayarkan pada saat libur karyawan.

Jika waktu pembayaran THR di Indonesia adalah serentak, di negara lain waktu pembayaran Paid Leave akan disesuaikan dengan keputusan dari pekerja mengenai hari libur yang diinginkan dan jumlah serta mekanisme pembayarannya pun beragam.

Di Belanda sebagai contoh, menentukan minimal 8% dari gaji pokok selama satu tahun fiskal Belanda (Mei-Juni). Jika perusahaan merasa berat, maka dapat mengakalinya dengan memasukkan unsur tersebut pada gaji bulanan. Mekanisme pembayarannya pun bisa disepakati diantara perusahaan dan karyawan.

Selain itu, di Denmark, setiap bulan Maret akan keluar pengumuman mengenai perhitungan Paid Leave, yang besarannya adalah 12.5% dari gaji yang dikomparasikan dengan jatah cuti per bulan.

Namun cara mengklaimnya adalah dengan menentukan waktu libur yang diinginkan dengan batasan tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Terlambat sedikit saja, maka Paid Leave akan hangus.

Di Amerika Serikat, menurut pengalaman penulis, Paid Leave adalah merupakan bonus dari perusahaan atau bagian dari negosiasi dengan para pekerja yang akan direkrut.

Indonesia seharusnya bersyukur bahwa aturan THR diatur dalam perundang-undangan sah yang berlaku. Di negara lain, jangankan undang-undang, istilah THR saja masih terasa sangat asing.

Nah dengan demikian, polemik THR yang terjadi setiap tahunnya, seharusnya dilihat secara bijaksana dari kedua sisi, baik perusahaan maupun pekerja.

Harus diakui bahwa undang-undang ini muncul akibat adanya protes dari pihak yang tidak puas, dan sepanjang hal ini masih dianggap sebagai kepentingan dan beban (mohon maaf), maka sampai kapanpun THR akan selalu menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah habis.

THR sangat berhubungan dengan hari raya keagamaan yang suci, seharusnya keikhlasan menyelimuti proses pemberian THR. Ridho yang seharusnya merupakan sifat terpuji dari manusia tidak akan pernah tercapai jika polemik ini masih terus berlanjut.

Bagi penulis sendiri, seberat-beratnya beban materi yang harus dikeluarkan, namun keikhlasan membuat semua kesulitan terasa enteng.

Nah bagaimana pendapat Kompasianer mengenai polemik ini? Terkait dengan kenyataan bahwa THR hanya dikenal di Indonesia, dan bagaimana seharusnya pengusaha dan pekerja menyikapi makna THR, apa yang sebaiknya dilakukan?

Jika ada ingin menambahkan opini dan informasi, silakan menuliskannya pada kolom komentar.

Sumber: 1 2

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun