Penulis masih mengingat jaman dulu, bagaimana menuliskan surat cinta kepada sang terkasih.
Memilih kartu Valentine di toko, selalu menghabiskan waktu lantaran bingung memilih satu dari ratusan pilihan. Tidak jarang juga mengajak kawan untuk bantu memilih, meskipun hanya menambah kebingungan.
Sesampainya di rumah, pena warna warni berhamburan diatas meja. Bengong berjam jam, lantaran terlalu banyak yang ingin ditulis diatas media yang hanya sebesar daun kelor.
Pada saat oretan pertama tertuai, sudah ada ratusan ekspresi yang bereaksi. Berjam-jam waktu terluang untuk menulis dan membaca ulang surat cinta yang berisikan sekelumit kata. Bagaikan editor professional yang akan menerbitkan novel unggulan. Â
Prosesi tidak sampai disini saja, parfum murahan dari merek harapan, terpercik menambah ungkapan hati yang gelagapan. Bakat warisan Picasso menambah keindahan lukisan hati kecil berwarna merah nan indah. Semuanya melengkapi perasaan yang tertuang.
Meskipun pada akhirnya surat akan terbuang di tumpukan gudang, tetap hati terasa puas tak terkirakan.
Jika dihitung, prosesi ini dapat memakan waktu 3 hari 3 malam, dan tidak kalah dengan dukun sakti yang berpuasa mencari ilmu sakti mandraguna.
Namun sekarang, semuanya lenyap ditelan waktu dan aplikasi. Tiga malam tergantikan dengan tiga menit.
Tidak bijak untuk mengajak milenial mengikuti kebiasaan para moyang. Kekhwatiran menjadi usang ditengah peradaban akan menjadi perdebatan siang dan malam.
Namun sekali lagi... perasaan adalah milik manusia dan tidak tergantikan.
Menurut penulis, ada beberapa tradisi yang memang harus dipertahankan dan tidak dapat terabaikan.