Ruang digital seperti ruang yang bebas, ruang yang menunjung tinggi demokratisasi kita bahwa semua tergantung pada pribadi-pribadi manusia, bagimana konsumsinya itu akan diarhakan sebagai manusia digital itu atas nama kehendak pribadi.
Seorang penjudi di ruang digital sudah tak perlu tahu siapa lawannya, seberapa modalnya untuk berjudi di ruang digital. Terpenting digitalisasi mengakomodasi kebutuhan akan konsumsinya itu, begitu juga dengan nilai prostitusi dan lain sebagainya yang masih dianggap sebagai tabu di ruang non digital. Diera digitalisasi semua tidak tersekat,
Namun ruang digital itu pun terjadi dengan hal-hal yang banyak diasumsikan orang sebagi hal yang bermanfaat. Digitalisasi mempermudah interaksi pasar antar penjual pembeli, dimana progress efisiensi dan keuntungan pasar lewat ruang digital semakin pasti memutus proses yang berbelit dari sebuah transaksi. Digitalisasi ada persingan sehat dalam bisnis, memungkinkan kompitisi pasar dengan harga dan rupa tanpa pihak-pihak lain yang kontra efisien. Digitalisasi dengan efisiensinya sendiri dapat memangkas nilai dan ekosistem ekonomi penopangnya itu faktnya. Â Â
Dilain sisi dalam aspek pendidikan public, dimana ruang-ruang digital memaksimalkan segala bentuk minat dan bakat. Terbukanya informasi lewat berbagai media juga memungkinkan untuk saling menopang kemajuan satu sama lain. Orang-orang di era digital kini dapat belajar hal apapun dengan biaya yang murah, cukup koneksi internet saja sesuai apa hal-hal bermanfaat untuk dirinya.
Tetapi mengapa justru yang terjadi kini dengan berbagai kemudahan dari kehidupan public kita baik pendidikan dan semacamnya memandang kemajuan era digital, justru hal-hal yang receh dan memundurkan peradaban itu menjadi hal yang viral saat ini?
Ruang-ruang sosial media memang tanpa control, tetapi orang-orang dapat mengontrol itu dengan segenap kekuatan mereka sendiri didalam media itu bawasannya orang-orang di era digital yang banyak di ikuti katakanlah "infliencer" secara tidak langsung merekalah yang mengontrol itu.
Alih-alih memandang sebuah kemanfaatan pada public, banyak influencer di era digital ini hanya memantingkan kemanfaatan pribadi dengan sejumalah potensi ekonomi dari viralitas yang mereka bawa.
Populernya fenomena perselingkuhan manantu dan mertua di Banten yang dikonsumsi semua pihak, atau Fajar Sadboys yang viral itu akhir-akhir ini dengan begitulah adanya dia memainkan sebuah anomaly ruang-ruang interaksi digital khusunya anak-anak.
Telah menjadi bukti bahwa yang bertanggung jawab pada itu adalah influencer yang membawa mereka semakin viral, memainkan sisi emosional manusia digital saat ini yang tak dapat lepas begitu saja dengan social media mereka.
Artinya kita semua dengan kelekatan media public diruang-ruang yang terdigitalisasi saat ini seperti dibawa bahwa masalah apapun yang viral dimedia social, seakan dibuat seperti itu masalah bersama.
Kita disajikan berita atau informasi yang viral seperti turut memainkan emosi, kita menghujat, berkomentar dan mengeluarkan kata-kata bijak akan masalah itu yang akhirnya mereka mendapat kepopuleran dan uang disusul media mainstream juga ikut menikmati kue uang dari viralitas itu.