Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Negara "Outsourcing", Buruh, dan Kapitalis

3 Desember 2022   18:57 Diperbarui: 3 Desember 2022   22:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara usia bukan sesuatu yang sederhana. Bayangkan melihat bagaimana langit biru itu. Memang jika dibandingkan dengan kulit saya yang gelap, dipapar sinar matahari setiap harinya, bekerja keras demi hidup yang lebih layak menjadi buruh. Rasanya menjangkau langit bukan sesuatu yang mungkin dapat terjadi.

"Langit berarti sesuatu yang luhur untuk dicapai seperti mimpi, cita-cita, dan segala sesuatunya yang menjadi dasar pencapaian kini yang selalu dilihat bagaimana prestasi materi itu. Semkain orang dianggap kerja cerdas, ia harus mampu menjadi kaya" serta mampu mencapai tahap social-ekonomi yang diperhitungkan sebagai kelas social atas".

Pada kenyataannya, saya lagi-lagi di dongkrak oleh pikiran diri yang merongrong diri saya sendiri. Yang mana itu menjadi kehendak diri secara alamiah; bahwa sesuatu sudah pasti dipertanyakan diri bagaimana hasil bagi kemanfaatan diri itu ada dan berdampak atau tidak "setidaknya" menunjukan hasil yang optimal dalam menjalaninya sebagai bentuk dari perolehan kerja.

Usaha dan kerja keras mengerjakan sesuatu. Dikatakan sebagai hasil yang optimal terkadang tidak semua dapat mencapai itu bagi banyak orang. Artinya sekeras-kerasnya kita bekerja, yang menentukan bukanlah kerja kita melainkan hasil dari kerja itu sendiri dengan berbagi macam system yang mengangkaki termasuk realita kini dimana system kapitalisme telah mampu mempengaruhi siapapun termasuk negara.

Bagaimana bisa Upah Minimun masing-masing daerah menjadi upah maksimum? Atau dibawah Upah minimum itu sudahlah menjadi biasa saat ini dipasar tenaga kerja. Mengapa ada buruh mau dibayar segitu dengan nilai minimum yang rendah bahkan dibawahnya?

Ekonomi Negara Outsourcing 

Pangkalnya pasar tenaga kerja abad ke-21 ini semakin pelik dengan berlebihnya calon tenaga kerja masalah demografi. Kini banyak orang yang membutuhkan kerja, artinya tenaga kerja berlebih, disitu ada potensi harga pekerja dapat murah. Orang-orang berebut untuk dapat kerja meski nilai yang dihasilkan tak berdaya secara ekonomi. Upah sehari-hari hanya cukup untuk kebutuhan hari itu juga.

"Indonesia saat ini seperti negara "Outsourcing" artinya sebenarnya industrialisasi di Indonesia itu tidak terjadi. Yang ada hanya memfaslilitasi industry perakitan saja. Yang punya pabriknya juga modal dari asing"  

Seperti bagaimana kerja kerasnya buruh-buruh pertukangan misalnya didalam system yang dinamakan ekonomi outsourcing makro di Indonesia ini. Setiap hari  sudah ditentukan berapa yang akan mereka terima upah dari hasil kerja buruh. Bukan diukur dari tenaga yang dikeluarkan dengan upaya yang besar serta kesempatan pada sector industry tertentu. 

Hal mustahil yang bisa capai sebagai buruh, termasuk mengimajinasikan diri ke langit biru yang indah itu dengan kesejahteraan status perburuhan. Atau dengan bahasa kerja cerdas tetapi hasil dari kerja itu lebih banyak dari buruh-buruh pertukangan bisa.

Apakah itu menjadi relevan jika buruh abad ke-21 ini di design sebagai pekerja kasar yang mana kecerdasan artifisial dari kerja sudah di ambil oleh system computer dan jaringan internet?

Kenyataannya antara bekerja cerdas yang sedikit mengelurkan tenaga dibanding dengan kerja keras yang banyak mengeluarkan tenaga. Ada perbedaan besar instrument yang harus di sediakannya.

Buruh-buruh bekerja keras karena mereka bukan tidak bisa bekerja secara cerdas. Bekerja cerdas artinya ia harus mempunyai instrument modal. Jika saat ini diabad ke 21 mereka juga harus mempunyai teknologi. Itu sesuatu yang tidak dapat ditawar.

"Kita dapat melihat kini buruh-buruh kasar dilapangan dimulai dari sales, teknisi dan tukang ojek sekalipun. Mereka harus menggunakan teknologi untuk bekerja. Artinya buruh modal tenaga tanpa adanya sikap adaptasi sebagi pengguna teknologi. Mereka tidak akan dapat bertahan menjadi buruh itu sendiri jika mereka statis"

Bagaimana modal dapat bekerja dan hasilnya dapat membantu nilai orang yang bermodal itu, yang mana penyelenggara teknologi sendiri dibutuhkan finansial dalam riset yang cukup dan harus dijalankan oleh ilmuan mengembangkan itu?

Bagaimanapun modal; di jaman paling kapitalis ini merupakan penggerak buruh untuk melaksanakan proyek-proyek ekonomi yang di ikat secara pasti berpenghasilan. Tetapi tidak semua yang dapat bermodal itu akan sukses jika tak memberdayakan buruh mereka juga dengan kecakapan menggunakan teknologi.

Maka semua buruh harus bertenaga mengindikasikan mereka sehat dan juga mereka harus melek teknologi supaya dapat dipakai oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Disparitas Modal, Tenaga, dan Teknologi

Saya memang selalu mengukur bahkan melihat dan mendengar diberbagi kabar media bagaimana tidak semua hal bisa dicapai dengan ketidak sempurnaan diri manusia itu sendiri termasuk antara disparotas modal, tenaga kerja dan tekonogi.

Ilmuan asal Amerika Seriakat dengan Nasanya. Atau ilmuan China yang sudah mampu mengekslporasi Planet Mars dapat ditinggali manusia atau tidak. Masa depan sebagai bagian dari proyeksi hidup manusia, kedepan dengan bumi yang semakin hari makin mengalami kerusakan.

Mereka para ilmuan dihadapkan untuk menembus langit juga belum mampu menjangkau itu. Artinya setiap individu memiliki kapasitas diri bagaimana itu digariskan oleh sesuatu yang sudah teratur sebelumnya termasuk kaum buruh yang memang sebagai penggerak ekonomi meski jauh dari kata adil. Namun semua menikmati era kapitalisme ini dengan gagap gempita.

Sama halnya keturunan orang kaya yang bergelimang modal, sudah pasti hidup mereka akan tetap kaya jika mampu mengelola modalnya dengan baik. Tidak heran anak-anak orang kaya selalu mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan yang baik, bahkan di modali dengan uang secara baik pula untuk tetap kaya.

Namun dengan buruh yang hanya mengandalkan tenaga-tenaga mereka untuk hidup jungkir balik. Tanpa tenaga yang tidak mereka keluarkan, karena modalnya hanya tenaga untuk mencari makan. Sudah pasti dia tidak akan kebagian makanan dengan hasil kerjanya tersebut.

Apalagi imaji-imaji saya ini dengan hanya menjadi buruh kecil, bahkan menjadi sesuatu itu juga mustahil dilakukan jika daya upaya yang mulai terkisis dengan usaha, makin senja dan tenggelam diperjuangkan termasuk analogi langit yang di ibaratkan mimpi itu bahkan sekedar untuk naik kelas menjadi kaya dan sejahtera bagi buruh yang ditopang hidupnya tanpa modal keuangan yang pasti.

Maka berpikir di luar kapasitas itu sangat menyakitkan. ditambah berharap pada sesuatu yang tidak bisa digenggam. Lebih parah bentuk kemenyakitannya. Mewujudkan apa mimpi-mimpi yang masih terringgal jika mensinkrokan pada dari mana memulai hidup diri.

Saya sendiri yang tak bagus-bagus amat dalam upaya mengejar mimpi kaya dan sejahtera itu dengan segenap modal hanya berbekal tenaga yang pas-pasan sebagai buruh menjadi sesuatu yang kontradikif dapat diwujudkan.

Semua itu memang sudah tidak mungkin ditelan usia yang semakin melapuk bahkan sudah menjadi tua. Akan tetapi yang menarik sebagi buruh adalah tak peduli dia tua atau muda. Modal awal dirinya hidup adalah tenaganya jika tanpa ada modal uang atau punya asset lain yang dapat menambah nilai lebih penghasilan hidup. Saat ini ditambah lagi dengan penguasaan teknologi bagi buruh.  

Oleh sebab itu berbicara pada hal-hal yang mustahil. Antara saya dan anda sebagai buruh mungkin pernah berpikir semua serba harus dikejar dan bagaiaman pengejaran itu membuat hasil yang efektif bagi hidup kita terasa sesuatunya harus diwujudkan sebagai nilai lebih tidak hanya buruh tetapi juga pemodal sebagai peningkatan hidup di era kapitalisme.

Bahwa di kapitalisme yang masuk akal. Semua harus tumbuh, ekonomi tumbuh dan kaya harus tumbuh tambah kaya. Disisi lain yang miskin tumbuh juga semakin miskin, disinilah disparitas ekonomi kapitalisme ini. Menjadi buruh pun harus tumbuh, tak boleh menjadi pekerja yang statis harus beradaptasi dengan tekologi sebagai sarana dari kerja mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun