Pada intinya saya merokok dengan sadar, tanpa candu dan masih berpikir dua kali ketika akan membeli rokok ayng harganya mahal itu. Maaf orang yang merasa miskin seperti saya dan akif sekali merokok mungkin itu dapat dikatakan maaf! "pe'*ok" atau orang yang berpikir keliru, sungguh keterlaluan.
Saya sendiri sering terheran-heran, "ya ini sih bukan saya mengkritik atau menyindir mereka-mereka yang secara gila aktif merokok sehari sampai bungkusan".
Tetapi rasionalah kita dengan kondisi ekonomi kita sendiri. Bukankah akan lebih baik mengurangi konsumsi rokok untuk hal yang penting, untuk kita tidak terjerat dalam kemiskinan lagi dan lagi yang terus menerus konsumsi rokok yang tak ada gunannya itu jika kita miskin?
Kita lihat berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah beras.
Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan. Mentri Keuangan Indoensia Sri Mulyani menilai konsumsi rokok yang tinggi di kalangan masyarakat bawah merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin.
Maka dari itu, menyadari akan potensi kemiskinan yang disebabkan oleh rokok, mamang harus disadari sejak sedini mungkin. Kedepan harga-harga kebutuhan bukan akan turun tetapi terus melonjak tinggi seperti pangan, hunian, pendidikan, dan lain sebagainya.Â
Jika konsumsi rokok dapat membantu mengurangi beban akses kebutuhan hidup karena miskin. Kurangilah konsumsi rokok dan mulai meringankan beban itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H