Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengalaman Krisis: Khawatir yang Menyelamatkan

13 Juli 2022   00:21 Diperbarui: 13 Juli 2022   00:33 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejujurnya bila direnungi. Ya memang tidak seharusnya saya kuwatir, masih lajang dan ada pekerjaan walau gaju sedikit tetapi tetap jika dibandingankan dengan seorang ibu yang pendapatan suaminya tidak pasti.

Kerja serabutan tanpa gaji tetap bulanan, yang terkadang bekerja jika ada pekerjaan saja. Biaya sekolah yang semakin tinggi. Anak sekolah dasar seperti dikutip berbagai sumber biaya pertahun mencapai 3-4 juta rupiah.

Sedangkan Sekolah Mengah Atas (SMA) dengan SPP 350 ribu di SMK swasta ditotal dalam satu tahun untuk biaya sekolah mencapai 4 juta lebih setahun belum uang gedung, saku anak, buku dan lain sebagainya. Itu belum dengan biaya asuransi kesehatan yang harus dipikirkan pula.

Tentu jika berpikir kesana. Dibarengi dengan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, rasanya dengan pendapatan yang tidak pasti, perjungan hidup terasa berat dan memang dipikir sangat berat.

Untungnya di Indonesia, seperti apa yang dinyanyikan oleh grup band legendaris Koesplus menyebut Indonesia tanah surga. Harus diakui dan disyukuri. Keberlimpahan dari alam masih cukup menopang krisis di Indonesia pengalaman dari tahun ke tahun. Entah mengapa saya masih yakin akan hal tersebut.

Saya ingat sewaktu pandemic tahun 2020 kemarin. Inisiatif dari orang-orang desa. Saya mengamati karena saya tinggal di desa. Dibeberapa kota seperti Jakarta dan lain sebagainya menerapkan lockdown. Orang-orang desa mengirim bahan makanan seperti beras untuk sanak saudara di kota yang terdampak lockdown.

Itu menjadi kearifan yang sudah menjadi tradisi masyarakat kita; bahwa krisis bukan menjadi penghalang empati sanak saudara untuk saling menyelamatkan satu sama lain. Saya kira budaya-budaya tersebut akan terus ada di Indonesia.

Di lain sisi, orang-orang desa seperti tetangga, keluarga bahkan kebanyakan masyarakat jika harga kebutuhan sedang tinggi. Untuk bertahan hidup orang desa, mengandalkan tanaman-tanaman yang ditanam dikebun, yang bisa didapatkan secara gratis dan murah seperti daun singkong, jantung pisang, dan genjer di sawah untuk bertahan hidup makan sehari-hari.

Secara jujur saya akui dan saya terapkan akhir-akhir ini mensiasati kebutuhan pokok yang tinggi. Nalar survive sebagai manusia juga saya lakukan mengamankan antara pendapatan dan pengeluaran yang harus seimbang ditengah ancaman krisis ekonomi.

Beberapa bulan ini semanjak harga telor naik satu-dua bulan lalu. Saya jarang bahkan belum pernah beli telor sampai saat ini, yang sebelumnya dua-tiga bulan lalu masih dua puluh ribu dapat kini menjadi tiga puluh ribu.

Sebelum naik, stok telor sebagai lauk pasti ada di dapur rumah saya dan saat ini nyaris tidak ada dan memang sengaja tidak saya beli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun