Akan tetapi dengan perubahan dunia, bagaiamana akomodasi pernikahan itu dan tantangan pernikahan yang setiap jaman terus mengalami sejumlah perbedaan mendasar.
Kenyataannya yang harus disadari adalah; "pernikahan merupakan sebuah bangunan, yang mana material dari bangunan-bangunan tersebut harus dipenuhi dalam perjalanan pernikahan dan rumah tangga".
Kembali dengan ucapan Aristoteles. Bukan saya enggan menikah dengan usia yang sudah menginjak 30-an ini, dimana orang-orang disekeliling lingkungan saya juga menyindir dengan berbagai bentuk dan rupa agar saya muai memandang pernikahan di dalam kehidupan saya itu.
Tetapi semakin banyak yang berbicara pernikahan untuk orang-orang lajang seperti saya, ditambah usia yang tidak muda ini terus-terusan di singgung. Saya menjadi berpikir, yang mana banyak orang Indonesia melihat kelajangan sebagai sesuatu hal yang menyedihkan.
Dengan sisi material yang harus dibangun dalam pernikahan antara hunian, pendidikan, dan kesehatan untuk anak dan istri dalam bangunan rumahtangga. Apakah mereka seseorang yang paham bagaimana abad ke 21 ini; diantara tantangan dan kesempatan hidup yang semakin sulit berkembang dengan kualitas hidup yang dituntut semakin tinggi dengan mudah berkeputusan asal menikah saja?
Namun, pendapatan akan material ekonomi yang pas-pasan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan secara terburu-buru dan harus mengejar secara buta status dari adanya pernikahan itu yang mungkin saja masih kurang pengetahuan akan esensi dari menikah?
Saya kira pernikahan bukan sesuatu yang harus dikejar secara buta. Pokoknya menikah dan itu enak. Tidak juga seperti itu. Sebab dibalik enaknya menikah, mengapa banyak orang yang memutuskan becerai, sudah tidak melanjutkan pernikahnnya.
Mungkinkah pernikahan yang enak-enak hanya ilusi atau mereka yang bercerai karena tidak kuat sebagai filsuf mengacu pada apa yang disingguh oleh Aristoteles?
Mengacu pada data percerian dalam pernikahan. Angka Perceraian di Indonesia (2017-2021). Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Laporan ini menunjukkan kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami.
Inikah yang menjadi alasan bahwa sang filsuf "laki-laki" itu meski belajar menjadi filsuf dalam pernikahan, sudah tidak mampu berbuat apa-apa ketika terbalik, yang justru mencerikan itu adalah istri dalam pernikahan mengacu pada data yang ada di Indonesia?
Yang pasti menikah pada abad ke 21 ini semakin banyak tantangan yang akan menghadang eksistensinya dibalik ekonomi dan sisi-sisi kesetaraan gender yang semakin disadari oleh manusia.