Dengan orang yang biasa-biasa seperti saya; mungkinkah tidak akan pernah punya privilege untuk hidup setidaknya "berkecukupan"? Karena itu tadi, 50 % sisa kekayaan nasional, diperberebutkan oleh 225 juta manusia Indonesia lainnya?
Saya mungkin salah satu orang yang percaya betul bahwa factor anak orang kaya mempunyai kesempatan untuk "sukses" lebih terbuka lebar karena factor ketuturunan orang kaya. Itu sesuatu yang pasti "kesuksesan" yang suatu saat dapat menghampiri dengan sarana penunjangnya.
Factor pendidikan, kesehatan, dan fasilitas-fasilitas hidup yang layak menunjang kehidupan mereka dapat diakses dengan kekayaan mereka, yang mana segala fasilitas itu hanya dapat dibayar dan diganti nilainya dengan uang.
Maka dari itu orang kaya, pasti akan mudah menikmati fasilitas tersebut. Pendikan tinggi bahkan dapat sampai ke luar negri, kesehatan, dan layanan hidup lain yang mendukung pada kualitas hidup yang baik dari pada orang yang terlahir miskin.
Biasanya, mereka yang miskin hidup di lingkungan kumuh, biaya pendidikan tidak ada memungkinkan putus sekolah, akses pada kesehatan yang ala kadarnya, itu pasti dirasakan oleh orang-orang yang terlahir miskin dan mungkin itu juga dirasakan orang-orang biasa kebanyakan seperti saya.
Namun jika berbicara privilege bagi orang miskin, apakah yang disampaikan Indra Kens, salah satu afilator Binomo yang saat ini terena kasus investasi bodong, bahwa miskin itu juga "privilege"; benarkah miskin itu privilege?
Bagi saya yang namanya miskin, berarti tidak akan mungkin mudah dalam mendapatkan kemudahan yang mengistimewa atau "privilege" hidup, setidaknya untuk naik kelas menuju menengah dari miskin.
Lingkungan yang sama-sama miskin, keluarga yang sama-sama miskin, dan relasi pertemanan yang mungkin berkutat pada kemiskinan. Membuat kemungkinan mendongkarak privilege dari jalur lain seperti relasi dan sebagainya bagi si miskin, juga kemungkinan kecil membuka jalan privilege ketika mereka sama-sama miskin tetapi bukan itu tidak ada kesempatan.
Masalahnya bagi si miskin atau si biasa saja tidak kaya dan tidak miskin masuk pada golongan keluarga yang cukup. Kemungkinan berkesempatan membuka "privilege" mereka dapat dikembangan bukan dari hal yang bersifat materi, melainkan dari relasi baik relasi lingkungan yang mendukung produktivitas maupun relasi keluarga itu tinggal bagaimana cara berpikir menuju itu dapat terkoneksi.
Dari kedua privilege relasi tersebut jika terkoneksi, setidaknya bisa menjadi batu loncatan untuk keluar dari kemiskinan. Misalnya adanya hubungan keluarga, teman dan lain sebagainya diajak bekerja, memungkinkan mereka dapat memperbaiki taraf hidup dari hasil pekerjaannya itu.
Terus terang saya akui meskipun saya masuk dalam keluarga miskin, tetapi saya tidak menganggap bahwa saya non "privilege" untuk bagaimana hidup berkecukupan sebagai manusia.