Apa yang akan kita katakan bahwa anak orang kaya yang sukses tentu karena privilage mereka dari orang tuanya. Mungkin nada agak sinisnya begini; "Ya karena orang tuanya sukses, ia lahir pun tetap akan sukses, mereka dapat berlindung hidup dari harta orang tua, yang tujuh turunan itu tidak habis".
Tapi, sadarlah bahwa harta yang sampai tujuh turunan itu tidak habis di Indonesia, hanya beberapa glintir orang yang mempunyai kesempatan menjadi orang kaya yang seperti demikian, istilahnya sampai tajir melintir begitu.
Sebab hanya 1 % dari penduduk Indonesia yang ada berlebel sebagai orang kaya beneran. Karena menurut berbagai penelitian, 1 % orang kaya Indonesia menguasai lebih dari 50% asset kekayaan nasional.
Artinya 50 % lebih sisanya itu dibagi-bagi untuk 225 juta penduduk lainnya di Indonesia, yang mana 1 % orang kaya itu minoritas dan mayoritas 99 % penduduk Indonesia; ya kelas menangah dan sisanya sudah pasti masuk dalam kategori miskin.
Tentu melihat dan mendalami fenomen itu, yang mana ketimpangan nasional akan kekayaan sudah sangat parah adanya dengan distribusi kekayaan nasional yang miris.
Menjadi keresahan tersendiri bagi saya. Bukan resah karena iri atau apa. Tetapi memang nasib anak orang biasa saja seperti saya, dibilang kelas menangah bukan, miskin juga tidak terlalu masih berkecupan dalam makanan. Ya semua itu patut disyukuri puji tuhan, alhamdulilah, atangsungkara "kita gak kurang-kurang bangat".
Maka ketika ada diksi "mereka sukses karena "privilege" orang tua mereka". Jelas kita akan setuju tentang pendapat factor kekayaan orang tua itu yang dapat memfasilitasi anak; meski anak orang kaya itu menyangkal bahwa apa yang mereka usahakan termasuk kesuksesnnya di mulai dari noll.
Kita yang miskin-miskin dan biasa ini percaya bahwa privilege merekalah yang membuat mereka sukses...tapi; apakah selalu orang sukses karena privilege anak orang kaya, yang secara gampangan itu dapat dilekatkan?
Mungkin itu iya, tetapi pembahasan akan privilege tidak hanya disandarkan bagaimana orang tua kaya. Privilege tanpa dukungan hal lain seperti kualitas diri, pekerja keras, dan mempunyai skil, mengoptimalkan privilege itu juga tidak selamanya dapat berhasil.
Contohnya Grace Tahir, Valencia Tanoesudibjo, atau Putri Tanjung misalnya, yang merupakan anak orang kaya bisa dikatakan "crazy rich". Selain mereka berprivilage secara anak orang kaya, kesuksesan mereka juga di imbangi dengan skil, intelektualitas yang mempuni dan memang layaknya orang-orang yang berprivilage pendidikan cukup, lingkungan medukung dan ya itulah orang-orang yang juga mampu mengoptimalisasi diri mereka sendiri.Â
Dengan orang yang biasa-biasa seperti saya; mungkinkah tidak akan pernah punya privilege untuk hidup setidaknya "berkecukupan"? Karena itu tadi, 50 % sisa kekayaan nasional, diperberebutkan oleh 225 juta manusia Indonesia lainnya?
Saya mungkin salah satu orang yang percaya betul bahwa factor anak orang kaya mempunyai kesempatan untuk "sukses" lebih terbuka lebar karena factor ketuturunan orang kaya. Itu sesuatu yang pasti "kesuksesan" yang suatu saat dapat menghampiri dengan sarana penunjangnya.
Factor pendidikan, kesehatan, dan fasilitas-fasilitas hidup yang layak menunjang kehidupan mereka dapat diakses dengan kekayaan mereka, yang mana segala fasilitas itu hanya dapat dibayar dan diganti nilainya dengan uang.
Maka dari itu orang kaya, pasti akan mudah menikmati fasilitas tersebut. Pendikan tinggi bahkan dapat sampai ke luar negri, kesehatan, dan layanan hidup lain yang mendukung pada kualitas hidup yang baik dari pada orang yang terlahir miskin.
Biasanya, mereka yang miskin hidup di lingkungan kumuh, biaya pendidikan tidak ada memungkinkan putus sekolah, akses pada kesehatan yang ala kadarnya, itu pasti dirasakan oleh orang-orang yang terlahir miskin dan mungkin itu juga dirasakan orang-orang biasa kebanyakan seperti saya.
Namun jika berbicara privilege bagi orang miskin, apakah yang disampaikan Indra Kens, salah satu afilator Binomo yang saat ini terena kasus investasi bodong, bahwa miskin itu juga "privilege"; benarkah miskin itu privilege?
Bagi saya yang namanya miskin, berarti tidak akan mungkin mudah dalam mendapatkan kemudahan yang mengistimewa atau "privilege" hidup, setidaknya untuk naik kelas menuju menengah dari miskin.
Lingkungan yang sama-sama miskin, keluarga yang sama-sama miskin, dan relasi pertemanan yang mungkin berkutat pada kemiskinan. Membuat kemungkinan mendongkarak privilege dari jalur lain seperti relasi dan sebagainya bagi si miskin, juga kemungkinan kecil membuka jalan privilege ketika mereka sama-sama miskin tetapi bukan itu tidak ada kesempatan.
Masalahnya bagi si miskin atau si biasa saja tidak kaya dan tidak miskin masuk pada golongan keluarga yang cukup. Kemungkinan berkesempatan membuka "privilege" mereka dapat dikembangan bukan dari hal yang bersifat materi, melainkan dari relasi baik relasi lingkungan yang mendukung produktivitas maupun relasi keluarga itu tinggal bagaimana cara berpikir menuju itu dapat terkoneksi.
Dari kedua privilege relasi tersebut jika terkoneksi, setidaknya bisa menjadi batu loncatan untuk keluar dari kemiskinan. Misalnya adanya hubungan keluarga, teman dan lain sebagainya diajak bekerja, memungkinkan mereka dapat memperbaiki taraf hidup dari hasil pekerjaannya itu.
Terus terang saya akui meskipun saya masuk dalam keluarga miskin, tetapi saya tidak menganggap bahwa saya non "privilege" untuk bagaimana hidup berkecukupan sebagai manusia.
Saya ingat privilege saya adalah ketika ada relasi keluarga yang dapat membawa saya bekerja di dalam perusahaan telekomunikasi saat itu. Meski gaji sedikit sebagai orang lapangan, namun itu dapat menjadi ladang bagaimana saya dapat hidup berkecukupan dengan adanya pekerjaan.
Dengan lulusan sekolah menengah pertama (SMP), privilege saya adalah hubungan relasi keluarga yang dapat membuat hidup berkecukupan. Bahkan sampai saat ini, saya masih dapat bekerja di bidang yang sama meskipun selamanya menjadi kariyawan kontrak, dimana secara manajemen saya masuk perusahaan outsorcing.
Tetapi saya mensyukuri itu, tamatan SMP saat ini, apa lagi saya kelahiran tahun 1993 yang mana berpendidikan tinggi sudah menjadi tren kala itu. Teman-teman saya kebanyakan  minim lulusan SMA.
Saya bersyukur tamatan SMP setidaknya bisa masuk PT, bukan kuli bangunan kasar meski penghasilan sama dengan mereka, yang membedakan saya berseragam dan mereka tidak tetapi itu adalah kesempatan langka dan saya saat ini menjalaninya.
Maka berbicara privilege, sebenarnya semua orang memang mempunyainya, baik itu orang miskin, menengah, dan orang kaya. Tetapi tidak semua memiliki jenis privilege yang sama. Orang miskin pasti berbeda privilagenya dengan orang kaya, yang mana "privilage" itu untuk sama-sama mengoptimalisasi hidup sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
Karena itu, jangan selamanya dijadikan sebuah alasan untuk hidup berkecukupan terlahir non "privilege". Pekerjaan rumah kita sebagai manusia entah terlahir dari keadaan apapun adalah mencari jenis privilege apa yang mungkin dapat kita gunakan.
Untuk itu gunakan sesuatu yang itu bisa digunakan sebagai privilege. Sebab tidak ada alasan lagi tidak berusaha, kemudian beralasan tidak ada "privilege".
Sekali lagi "privilege" secara gampanganya merupakan sarana, dan selayaknya sarana itu. Setiap orang punya tetapi jenisnya berbeda-beda. Sadarilah sebelum semuanya berakhir karena sarana atau privilege itu ada masa dan kesempatannya menghampiri dikala waktu kita hidup dan harus benar-benar disadari.
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H